
Oleh: Saprillah – Balai Litbang Agama Makassar
Politik Sebagai Konteks
Politik adalah konteks. Sejarah perkembangan madzhab dalam Islam tidak terlepas dari situasi politik. Kenyataan ini tidak bisa terhindarkan. Syiah dan Khawarij adalah kelompok yang berkembang dalam kemelut politik di era Khulafaurrasyidin. Qadariah dan Jabariah menjadi alat teologis antara penguasa dan opsisi di era Muawiyah bin Abu Sufyan. Paham Ahlusunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut sebagai Aswajah) yang direformulasi oleh ulama di era selanjutnya adalah respons terhadap dinamika politis yang tampak berlarut-larut itu.
Tanda-tanda Islam akan mengalami pembelahan dimulai sejak dini. Situasi politik tidak mudah dikendalikan pasca wafatnya Nabi Muhammad dan bahkan memunculkan gejolak. Para sahabat utama yang terpilih sebagai khalifah seperti Abu Bakr, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib tidak menjadi jaminan stabilitas politik. Faksi-faksi terbentuk. Fanatisme kabilah yang sudah terkikis di era Nabi Muhammad ternyata tidak redup begitu saja dan memengaruhi setiap pergantian kepemimpinan. Transisi kepemimpinan tidak selalu berjalan mulus.
Friksi politik beralih menjadi tragedi ketika Usman bin Affan tidak berhasil mengkonsolidasi suara-suara kritis di akhir kepemimpinannya. Beberapa kebijakan Usman bin Affan dikritik dan menimbulkan polemik. Puncaknya Usman bin Affan terbunuh. Ali bin Thalib yang naik menjadi pemimpin pun tidak berhasil menutup lubang-lubang konflik. Perselisihan Ali bin Abu Thalib dengan Aisyah menjadi tragedi memilukan. Pasukan Ali menang tetapi persatuan terkoyak. Tragedi berlanjut dengan perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Siffin. Meski perang ini berakhir dengan perdamaian, tetapi gejolak sosial tidak bisa teredam begitu saja. Faksi garis keras bernama Khawarij terbentuk. Khawarij yang semula merupakan loyalis Ali bin Thalib merasa kecewa dengan sikap akomodatif Ali bin Thalib dalam perang Siffin. Mereka mengambil garis yang lebih keras dan mulai memproduksi serangan semantik kepada semua kelompok yang berbeda dengan mereka. Semua yang berbeda pendapat dengan kaum Khawarij diklaim sebagai kafir dan halal untuk dibunuh. Dari faksi khawarij inilah, Abdullah bin Muljam mencatatkan namanya dalam lembar hitam sejarah Islam. Dia-lah yang membunuh Ali Bin Thalib di subuh hari nan gelap.
Friksi politik ini tidak hanya berpengaruh pada dunia politik dengan orientasi perebutan kekuasaan tetapi juga berpengaruh pada bangunan pemikiran keislaman. Masyarakat Islam mulai menafsirkan Alquran dan membangun paradigma berfikir berdasarkan kesesuaian dan kepentingan dirinya di tengah perubahan situasi politik yang tidak menentu. Aliran Murjiah dan Jabariyah muncul dengan pendekatan kepasrahan total. Tuhan diposisikan sebagai “Yang Maha Aktif” dan manusia (serta seluruh makhluk) sebagai “yang pasif”. Apapun kehendak Allah itulah yang terjadi. Logika Jabariah diberikan ruang oleh Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai “legitimasi” bahwa peristiwa pengambilalihan kekuasaan adalah kehendak Tuhan.
Di sisi lain, muncul aliran Qadariah yang dibuat oleh Muhammad bin Ali (putera Ali dari Fatimah binti Hanafiyah) yang menekankan keaktifan manusia. Tuhan memberi kekuasaan penuh kepada manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Manusia bukan makhluk pasif sebagaimana yang dipahami ulama Jabariyah. Manusia adalah makhluk aktif yang diberikan kewenangan penuh untuk menentukan hidupnya. Aliran Qadariah ini banyak disambut oleh para oposan yang menganggap bahwa peralihan kekuasaan ke tangan Muawiyah adalah tindakan manusia, bukan iradah (keinginan) Tuhan.
Di tengah arus dominan Jabariah dan Qadariah, beberapa ulama mengembangkan pemikiran yang kultural dan moderat. Hasan Al-Bashri, salah satu yang utama. Hasan Al-Bashri -meski bersifat oposisional terhadap Bani Umayah tetapi dia tidak menjadikan politik sebagai patron gerakan. Hasan Al-Bashri melakukan penguatan kelompok sipil melalui gerakan dakwah dan pendidikan.
Gerakan Hasan Al-Bashri ini boleh dikatakan sebagai fondasi dari gerakan pemikiran keagamaan yang mencoba “keluar” dari kepenatan politik dan kepentingan pragmatis di baliknya. Gerakan ini bisa pula dianggap sebagai cikal bakal satu madzhab pemikiran yang dikenal dengan istilah Ahlusunnah Wal Jamaah.
Dinamika keagamaan dalam masyarakat Islam semakin dinamis dengan munculnya Washil bin Atha yang memproklamirkan satu madzhab berfikir yang kemudian dikenal sebagai aliran Muktazilah. Coraknya sangat rasionalis. Dalam banyak hal, pandangan Muktazilah banyak bersisian dengan cara pandang Qadariah yang sebelumnya telah berkembang. Cara pandang rasionalis ini berkelindan pula dengan kepentingan para penguasa yang sedang ingin membawa kemajuan dan persentuhan dengan peradaban lain di luar Islam.
Istilah Aswajah mulai popular digunakan ketika Abu Hasan Al-Asyarie mengembangan teologi jalan tengah. Teologi yang mengkritik model kepasrahan total Jabariah dan rasionalitas Qadariah serta Muktazilah. Selain Abu Hasan Al-Asyarie, ulama lain yang mempopulerkan istilah Aswajah adalah Abu Mansur Al-Maturidi. Keduanya merupakan ulama ushuluddin yang hidup di abad ke-2 Hijriyah. Pandangan Asyarie berkembang di wilayah Khurasan, Irak, dan Syam. Sedangkan pandangan Maturidi berkembang di wilayah Samarkan.
Pemahaman yang dikembangkan oleh Imam Asyarie dan Al-Maturidi ini cepat mendapat sambutan dari masyarakat Islam secara global. Pelan-pelan Aswajah menjelma menjadi madzhab berfikir dan sekaligus menjadi identitas. Tidak hanya di wilayah teologi, identitas ini berkembang pula di pemikir-pemikir Islam di bidang tasawuf, hadis, tafsir, dan ilmu keagamaan lainnya.
Di era, ini Ahlussunnah Wal Jamaah mulai dibedakan secara tegas dan ketat dengan Syiah dan Mutazilah. Bahkan setelah Muktazilah meredup, kita mewarisi dua identitas saja, Sunni (sebutan lain untuk kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah) dan Syiah. Akibatnya, kita mudah terjebak dalam simplifikasi. Siapa yang bukan Syiah berarti Sunni.
Aswajah di Indonesia
Di Indonesia Islam adalah Sunni, Sunni adalah Islam. Penganut Madzhab Sunni sangat dominan dan mayoritas. Otoritas sejarah Islam dan semua konstruksi keislaman Indonesia disusun untuk mengukuhkan eksistensi kaum Sunni di Indonesia. Syiah yang juga memiliki sejarah panjang di Indonesia terpinggirkan. Ahmadiyah yang juga sudah lama hadir di Indonesia, tidak pernah benar-benar mendapatkan pengakuan sebagai Islam.
Organisasi yang berkembang di Indonesia hingga era saat ini semuanya berhaluan Sunni. NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, NW, Al-Khaerat, DDI dan sebagainya adalah ormas Islam yang berhaluan Sunni. Konsorsium ulama Sunni seperti MUI adalah perkumpulan ulama-ulama Sunni. Jangan pernah membayangkan ada orang Syiah dan Ahmadiyah dalam kepengurusan MUI. Kedua kelompok ini adalah kelompok minor, dianggap sesat, dan bahkan dianggap bukan Islam.
Problem kelompok Aswajah di Indonesia adalah aksentuasi pemikiran. NU dan Muhammadiyah bermasalah dalam konteks kebudayaan sejak awal. Muhammadiyah yang banyak mendapatkan pengaruh dari kelompok reformis Islam Muhammad Abduh memiliki cara pandang yang ketat terhadap budaya. Misi Muhammadiyah adalah puritanisme. Sedangkan NU muncul sebagai payung pelindung budaya lokal. Pertarungan NU dan Muhammadiyah cukup klasik. Benturan-benturan terjadi. Friksi ini beruntung tidak dipengaruhi oleh politik. Pemerintah Orde lama dan Orde Baru memilih berjarak dengan kelompok keagamaan dan mengembangkan ide nasionalisme, ekonomi, sosial dan pembangunan infrastruktur. Penguasa Orde Baru cukup cerdik dengan membentuk MUI dan ICMI sebagai elemen keagamaan buatan pemerintah agar tidak terjebak dalam friksi NU dan Muhammadiyah tentang paradigma keagamaan.
Kontruksi keislaman di Indonesia adalah kontestasi antar kelompok dalam Sunni. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan terbesar (secara jumlah) lebih cepat merumuskan Aswaja sebagai identitas kelompok. Hadratussyekh Hasyim Asyarie merumuskan konsep aswajah secara panduan bagi warga NU dalam beragama. Doktrin sanad pengetahuan yang berkembang di kalangan Nahdiyyin bertitik pada tiga ranah. Di ranah teologi, Aswajah Nahdiyyin merujuk pada pendapat Abu Hasan Al-Asyarie dan Abu Musa Al-Maturidi. Di ranah tasawuf merujuk pada Imam Al-Gazali dan Junaid Al-Bagdhadi. Di ranah fiqih merujuk pada empat imam fiqih, Imam Syafii, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Hanbali. Meski dalam praktiknya, pemikiran Imam Syafii yang paling banyak mendominasi praktik keagamaan warga Nahdiyyin.
Islam yang kita anut hari ini adalah warisan Nabi Muhammad SAW. Islam yang bergerak dari titik 0 peradaban Islam di era Nabi Muhammad menjelajahi waktu selama 1500 tahun hingga tiba ke era kita sekarang. Sepanjang rentang waktu itu, Islam mengalami diversifikasi. Ia berjumpa dengan beragam entitas, konteks, dan situasi. Akibatnya, Islam mengalami banyak sekali pengembangan-pengembangan dan pada akhirnya terkanalisasi dalam beragam identitas partikular. Paling tidak di Indonesia saat ini, kita menyaksikan banyak sekali kelompok-kelompok dalam Islam yang berdialektika secara dinamis. Tak jarang, friksi dan konflik muncul.
Identitas partikular terbentuk dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Geo-politik, geokultur, imajinasi spiritual, cita-cita sosial, dan hal lainnya adalah faktor-faktor pembentuknya. Islam menyebar ke berbagai tempat di belahan dunia. Bertemu dengan beraneka ragam budaya global dan diterima oleh ribuan latar belakang etnik yang berbeda. Islam mengalami proses asimilasi, akulturasi, enkulturasi, dan pribumisasi. Identitas partikular Islam tidak bisa lagi ditolak. Pengembangbiakan adalah keniscayaan.