Oleh: Saprillah – Kepala Balai Litbang Agama Makassar
Relasi-relasi antar kelompok keagamaan bersifat ideologis. Teori Michel Foucault tentang relasi kuasa cukup baik menjelaskan terjadinya dominasi dan subordinasi terhadap kelompok yang lebih lemah. Namun teori ini tidak cukup menjelaskan secara detil argumen-argumen yang menyebabkan terjadi dominasi antar kelompok. Apalagi, dalam banyak hal kelompok quasi mayoritas justru menunjukkan gairah kuasa yang lebih kuat dibandingkan kelompok mayoritas dalam hal menguasai wacana keagamaan.
Apabila diamati lebih seksama, kontestasi keagamaan terjadi akibat dari serangkaian penciptaan mitos di semua kelompok keagamaan. Mitos disini bukan dalam pengertian umum yang dipahami masyarakat sebagai dongeng, irrasional, atau berada di luar konteks kemanusiaan. Mitos adalah produksi wacana yang menampung kepentingan ideologis masing-masing kelompok. Mitos dalam perspektif Roland Barthes tidak berada dalam wacana dan juga tidak berada di luar wacana, tetapi sebagai ‘kepentingan’ di balik produksi wacana.
Sebab mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa jadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh obyek pesannya, namun oleh cara dia mengutarakan pesan itu sendiri. Memang mitos ini memiliki batas-batas formal, namun semua tidak begitu subtansial.[2]
Jika mengikuti perspektif Roland Barthes, maka mitos ada dalam rangkaian wacana. Tidak terlihat tetapi memainkan peran yang besar dalam pencapaian tujuan wacana. Mitos berbasis pada ideologi. Mitos bekerja untuk menyelamatkan ideologi keagamaan. Mitos mudah dikenali melalui kontradiksi-kontradiksi atau dominasi teks yang kuat. Barthes menggunakan teori mitos dalam hubungan sintagmatik antara penanda dan petanda. Kehadiran subyek (penutur dan pencipta tanda) diabaikan karena diwakili dalam mitos. Teori ini menarik untuk dikembangkan dalam skala tanda yang lebih besar. Produksi wacana keagamaan selalu menyembunyikan subyek di balik universalisme agama dan sakralitas teks. Kelompok keagamaan sebagai subyek wacana biasanya menyembunyikan diri dan membangun alibi bahwa wacana itu adalah universal, sakral, bahkan (diupayakan sebagai tafsir) tunggal. Para subyek bersembunyi di balik produksi wacana ini. Di sinilah mitos bekerja.
Misalnya, kelompok salafisme senantiasa mengklaim sebagai pewaris ajaran Islam yang otentik. Ideologi salafi adalah otentisisme Islam. Seluruh gerakan intelektual dan dakwah yang dilakukan oleh kelompok salafisme bermuara pada pencapaian agama yang otentik. Produksi wacana kelompok salafisme adalah mengembalikan umat Islam ke dalam praktik beragama yang paling otentik. Untuk sampai pada kesadaran otentik itu, kelompok salafisme mengembangkan sistem pengetahuan yang anti-historik, nonkontekstual, dan purifikatif. Kitab suci dan hadis dibersihkan dari ‘keterlibatan’ sejarah dan kebudayaan agar tetap otentik. Semua usaha dalam agama yang tidak memiliki landasan kuat dalam Alquran dan hadis tertolak. Untuk kepentingan itu, diciptakanlah jargon ‘kembali kepada Alquan dan Sunnah’. Jargon yang diciptakan untuk semua umat Islam tetapi dengan kepentingan pengukuhan ideologi salafisme. Salafisme sebagai subyek menghadirkan diri secara samar atau bahkan membangun alibi atas ketidakhadirannya dengan cara argumentasi, bahwa memang ‘alamiah’ umat Islam adalah kembali kepada Alquran dan hadits.
Lalu siapa kelompok yang tidak kembali kepada Alquran dan hadis? Semua kelompok keagamaan (NU, Muhammadiyah, Wahda Islamiyah, Pesantren Assunnah, Ahmadiyah, Syiah, dan lain-lain) mendasarkan diri kepada Alquran dan hadis. Basis normatif dan nilai semua kelompok ini adalah teks dasar nan suci ini. Tidak satu pun kelompok yang tidak menyusun identitasnya tanpa menyandarkan diri kepada Alquran dan hadis. Klaim ‘kembali Alquran dan hadis” adalah klaim politis yang bertujuan untuk mengukuhkan gagasan otentisisme salafi. Kembali ke Alquran dan Sunnah berarti kembali ke “yang paling otentik”. Dengan cara ini, kelompok salafi tampil percaya diri dan berkontestasi dengan setiap kelompok yang dianggap menghalangi umat Islam kembali kepada Alquran dan As-Sunnah. Tetapi pada kenyataannya, kelompok salafi tidak pernah benar-benar menggunakan cara ini dalam menghadapi setiap persoalan. Salafi tidaklah berbeda dengan kelompok keagamaan lainnya yang mendasarkan pendapat tidak langsung kepada Alquran dan Sunnah melainkan kepada pendapat para ulama atau masyaikh yang otoritatif. Perubahan pendapat dalam kelompok salafi sangat tergantung kepada perubahan pendapat para ulama otoritatif yang masih hidup. Pola relasi dalam kelompok-kelompok berhaluan salafi ini juga sangat dipengaruhi oleh pola relasi para ulama otoritatif.
Jargon “kembali ke Alquran dan hadis” tidak pernah benar-benar dilakukan secara total. Klaim ini justru terhenti pada level kedua, yaitu tafsir para ulama. Kelompok keagamaan menyusun identitas partikularnya melalui instusionalisasi ijtihad para ulama yang otoritatif (dalam kepercayaan masing-masing kelompok). Yang disebut NU adalah institusionalisasi ijtihad Imam Asyarie, Al-Gazali, Junaid Al-Bagdhadi, empat Imam Madzhab yang diramu oleh Kyai Hasyim Asyarie. Sedangkan yang disebut salafi adalah institusionalisasi ijtihad ibnu Taimiyah, Abdullah Bin Baz, Syekh Utsaimin dan lain sebagainya.
Institusionalisasi ijtihad para ulama inilah yang diklaim sebagai “yang otentik” dan diperdebatkan dalam banyak situasi. Perdebatan muncul karena perbedaan sanad pengetahuan keagamaan kepada ulama yang berbeda. Dengan demikian, semua kelompok keagamaan adalah kelompok yang “kembali ke Al-quran dan Sunnah” sekaligus tidak ada satupun kelompok yang ‘kembali ke Alquran dan Sunnah’ kecuali melalui hasil pemikiran ulama yang dipercayainya. Kontradiksi ini menunjukkan bahwa jargon “kembali ke Alquran dan hadis” bersifat mitos, yang dimaksudkan untuk menyembunyikan kepentingan ideologis subyek wacana dalam bahasa universal.
HTI menciptakan khilafah sebagai mitos dari ideologi universalisme Islam yang dianutnya. Ide khilafah yang didengungkan sebagai solusi sebagai setiap persoalan dengan cara penyatuan masyarakat Islam dalam pemerintahan global justru digerakkan dengan cara parsial. Alih-alih masuk sebagai bagian dari NU atau Muhammadiyah, HTI justru membentuk kelompok tersendiri, lalu berteriak penyatuan. Sederhananya, bagaimana bisa meneriakkan persatuan Islam tetapi dengan cara memisahkan diri dari kelompok besar? Mitos khilafah ini tercipta dalam kontradiksi antara gagasan universal dan keputusan untuk membentuk kelompok yang partikular.
Mitos muncul pula dalam bentuk kesadaran kelas sebagai mayoritas. Mayoritas menyusun ideologi mayoritarinisme. Melalui ideologi ini, kelompok mayoritas menciptakan mitos sebagai “penguasa kebenaran”. Ukuran norma, nilai, kebaikan sosial, kebijakan politik merupakan refleksi dari kelompok mayoritas. Yang disebut Islam di Indonesia adalah Islam Sunni. Ahmadiyah, misalnya kesulitan menyebut diri Islam karena mereka bukan Sunni. Bahkan mereka dilabeli sebagai sesat, sempalan, dan bukan Islam oleh kelompok mayoritas.
Mayoritarianisme adalah anutan semua kelompok mayoritas (termasuk quasi mayoritas). NU (dan Muhammadiyah) yang dikenal mayoritas moderat pun tidak bisa melepaskan diri dari cara pandang ini. Seluruh kelompok mayoritas memosisikan diri sebagai subyek kuasa. Yang berbeda adalah sikap dan tindakan. Mayoritarinisme NU terlihat dari cara dirinya memosisikan diri sebagai subyek pembela dan pelindung Ahmadiyah dari segala bentuk kekerasan. NU sebagai subyek kuasa dalam kelompok mayoritas merasa memiliki kemampuan untuk memberi perlindungan, baik secara simbolik maupun secara langsung. Sedangkan kelompok quasi mayoritas seperti FPI menggunakan nalar mayoritarianisme untuk menyerang dan mendelegitimasi kehadiran kelompok subordinat tersebut. Jadi, tindakan melindungi, mengayomi, bersuara (atas nama kelompok minoritas), menyerang, menghabisi adalah ekspresi yang muncul dari ideologi mayoritarianisme.
Perbedaan penting dalam nalar mayoritarianisme ini adalah NU memandang kelompok minoritas sebagai kenyataan yang berbeda dan memiliki hak hidup sebagai warga negara. Sedangkan nalar mayoritarianisme dalam kelompok FPI memandang minoritas sebagai sesuatu yang membahayakan eksistensi kelompok mayoritas. Persamaan keduanya adalah memandang Ahmadiyah sebagai kelompok lemah, pinggiran, dan subordinat.
[1] Roland Barthes, Mitologi (Bantul:Kreasi Wacana, 2018), h. 151-237.
[2] Roland Barthes, Mitologi, h. 152