BLA MAKASSAR
Jl. AP PETTARANI NO 72A

Catatan Perjalanan Amerika (3)

Religious Freedom vs Religious Harmony

Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat, seorang filsuf politik yang gencar mendukung paham kebebasan liberal (liberalism), paham republik, dan pemisahan antara negara dan agama. Sumber gambar: Pinterest

Oleh: Saprillah – Kepala Balai Litbang Agama Makassar

Kebebasan beragama adalah identitas sosial masyarakat di US. Semua komunitas agama yang kami kunjungi mengatakan itu, baik Kristen, Yahudi, Islam, Quacker dan lain sebagainya. Kebebasan beragama muncul sebagai hasil dari politik pemisahan negara dan agama yang dianut oleh negara Paman Sam ini sejak lama. Negara tidak mencampuri sedikit pun “urusan internal” masyarakat dalam hal agama. Monoteistik, politeistik, agnostic, hingga atheis tidak menjadi persoalan. Siapapun bebas memilih bentuk keyakinan atau sekaligus tidak meyakini apapun. Negara memberi jaminan sepenuhnya kepada setiap warga negara untuk melakukan itu. Dalam nomenklatur politik, sistem ini dikenal dengan istilah negara sekuler.

Prototipe sekularisme yang berkembang di US berbeda dengan yang berkembang di Eropa, Perancis misalnya. Rabbi Abraham Cooper -seorang tokoh Yahudi yang mengelola Museum of Tolerance di California- menyebutkan istilah yang menarik tentang ini. Religious freedom di US adalah freedom for religion not freedom form religious. Kebebasan untuk beragama, bukan bebas dari agama. Negara memberi kebebasan penuh untuk kepada publik dan tidak mengontrolnya sama sekali. Masyarakat US diberikan kebebasan untuk beragama dan mengekspresikan dirinya di ruang publik. Tidak ada etika dan kepercayaan agama yang dijadikan platform oleh negara. Meski Kristen merupakan agama dengan populasi paling banyak, tetapi negara tidak menjadikannya sebagai basis etik (formal). Tidak ada larangan dari negara kepada setiap warganya untuk berpakaian berdasarkan preferensi agamanya. Jika anda berkunjung ke komunitas Amish, maka akan menjumpai masyarakat yang mengembangkan sendiri sistem hidupnya berdasarkan keyakinan keagamaan mereka. Perempuan muslim yang ingin menggunakan hijab di ruang publik, termasuk di sekolah, dibolehkan.

Dengan sistem ini, US boleh dikatakan menjadi surga bagi semua kelompok agama (dan tidak beragama). Setiap umat beragama bebas mengembangkan diri dalam komunitas. Umat Islam misalnya, sebagai salah satu minoritas di US bebas mengekspresikan keIslaman mereka. Bebas mendirikan sekolah dan tempat pengembangan umat. Bebas mendirikan masjid sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan negara. Syarat yang dimaksud adalah pengaturan perumahan yang berlaku umum, baik kepada komunitas beragama maupun non agama. Masjid IMAAM Centre di Maryland, DC dan Masjid Thohir di LA dulunya adalah gereja. Ini fenomena biasa. Tidak mudah mendapatkan tempat untuk rumah ibadah karena ketatnya pengaturan pemukiman. Pilihannya adalah mencari tempat ibadah umat lain yang ingin dijual atau bangunan yang memang sudah mendapatkan izin sebagai rumah ibadah sebelumnya.

Kebebasan yang sama didapatkan oleh individu atau kelompok yang tidak mempercayai Tuhan dan agama. Atheis dan Agnostik. Agama-agama misionaris tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk melarang penyebaran gagasan atheism atau memusuhi orang-orang atheis. Yang dilakukan adalah memperkuat komunitas dan menerima kelompok atheis dan agnostik sebagai kelompok manusia yang memiliki hak yang sama di hadapan sistem negara. Negara akan “turun tangan” apabila ada kelompok yang merasa hak dasarnya untuk beragama atau tidak beragama terancam oleh kelompok lain. Anak muda US bebas untuk menjadi atheis dan negara tidak akan menggunakan platform berfikir salah satu agama terutama Kristen untuk melarang atheisme.   

Kompetisi dan kolaborasi antar umat beragama menjadi dampak dari sistem sekuler ini. Setiap agama berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing dan mengembangkan perjumpaan-perjumpaan untuk menopang kekuatan kelompok sipil yang memang sangat dibutuhkan dalam negara demokrasi. Tak mengherankan apabila aliansi antara Islam, Yahudi, Kristen mudah ditemukan dalam komunitas antar iman. Mereka bekerja sama untuk menyokong isu kemanusiaan dan sekaligus menyokong sistem demokrasi yang telah berkembang sejak lama. Kontestasi juga terjadi secara alamiah dalam kelompok internal beragama. Meski sebagian besar umat Islam di US adalah Sunni tetapi tidak ada friksi yang kuat dengan Syiah dan Ahmadiyah. Memang ada perdebatan dalam pengelolaan masjid tetapi sekali lagi tidak memicu munculnya pemberangusan atas nama ide keagamaan. Kelompok Quacker dan Amish yang mendapatkan stigma negatif di Eropa pada abad pertengahan bisa tumbuh dengan baik dan bebas di Amerika, khususnya di state Philadelphia.

Sistem US seperti menemukan evolusi terbaik dari sistem sekularisme yang berbeda dengan Eropa. Meskipun, sejarah US tidak bisa dilepaskan dari Eropa namun prototipe masyarakatnya berkembang dengan mengikuti jalur sendiri. Di Eropa, prototipe sekulerisme yang paling dirujuk adalah Prancis. Seperti US, negara ini sejak lama mengkampanyekan pemisahan agama dan negara. Berbeda dengan yang tumbuh di US, sekularisme yang berjalan di Prancis adalah free from religion. Jika di US, sekularisme adalah tembok yang membatasi negara untuk melakukan kontrol, maka yang terjadi di Prancis justru sebaliknya. Sekularisme adalah alat negara untuk mengontrol agama. Ruang publik dinetralkan dari simbol agama. Yang berislam tidak boleh menggunakan hijab, yang Kristen dilarang menggunakan salib, yang Yahudi dilarang menggunakan kippa. Semua agama bebas tetapi dalam ruang yang privat. Ruang publik dikontrol penuh oleh negara. Akibatnya, Prancis justru gagal membendung gerakan agama.

Apakah model sekularisme US yang paling ideal? Jika mengamati sejarah kedatangan kelompok-kelompok agama ke benua Amerika, maka ini bentuk paling ideal. Warga negara US sejatinya adalah penduduk dunia yang berpindah ke satu tempat. Mereka seluruhnya orang asing. Kedatangan penduduk Eropa dan Afrika di awal sejarah sebagai implikasi konflik dan krisis politik yang terjadi di negara asal mereka. Sejak lama mereka membutuhkan sistem sosial yang mengatur kepentingan mereka. Sejarah Amerika akhirnya menemukan sistem sekularisme dengan format kebebasan untuk beragama, bukan kebebasan dari agama.

Idealitas bentuk sekularisme di US ditopang oleh tiga hal. Pertama, stabilitas politik. Politik domestik US relatif stabil. Tatanan politik baik dalam konteks state atau federation berjalan dengan stabil. Stabilitas politik ini menumbuhkan trend kebebasan sipil yang baik. Ancaman krisis politik tidak membelah sistem sosial. Demokrasi yang menjadi panggung politik mampu menumbuhkan kepercayaan kepada setiap kelompok agama untuk terlibat secara sosial sebagai warga negara US. Stabilitas politik ini juga ditunjukkan dengan jarak negara terhadap agama tetap terjaga. Eksperimen Donald Trumph yang mencoba membawa isu agama dalam percakapan politik hanya berhasil satu periode. Selebihnya, gagal. Trumph tidak berhasil membawa isu yang sama dalam percobaan kedua kalinya.

Kedua, sistem hukum yang berjalan baik. Basis sekuritas utama dari sistem sekularisme adalah law enforcement. Sistem sosial di US menyimpan potensi konflik ras dan agama. Sentimen anti-Yahudi, anti-Islam dan anti ras kulit hitam bersifat laten. Letupan-letupan kecil muncul. Tatanan hukum yang tidak berpihak kepada kelompok tertentu menyebabkan kompetisi agama berjalan sehat. Negara mengontrol abrasi sosial melalui sistem hukum.

Ketiga, sistem sosial pada masyarakat US berbasis pada kebebasan individual. Sistem ini memunculkan kedewasaan sosial. Masyarakat US terbiasa dengan kebebasan individual yang berimplikasi pada kebebasan beragama. Tidak ada celaan dan hinaan apapun bagi warga US yang memilih tidak percaya kepada Tuhan. Agama tidak diletakkan dalam konteks komunal tetapi individual. Beragama atau tidak beragama bukanlah isu penting bagi warga Amerika. Perjumpaan kami dengan anak-anak usia sekolah di Philadelphia (Friends Select School) menunjukkan bagaimana Tuhan dan agama tidak menjadi isu penting. Yang terpenting adalah kesadaran tentang sistem sosial US dan kebebasan individual. Tidaklah mengherankan apabila gejala ateisme berkembang pesat di US, khususnya di kalangan generasi muda.  

Sekularisme yang membuahkan kebebasan beragama tentu sangat rentan dengan perubahan sosial. Pasca 911 misalnya. Gejala Islamophobia muncul dalam beragam bentuk. Mulai dari level masyarakat hingga ke politik. Gejala anti-semit yang terus menerus terjadi dalam level kecil. Atau gejala rasisme yang mudah sekali membuahkan gejolak sosial. Keseluruhnya merupakan tantangan bagi masyarakat US untuk menerjemahkan secara apik, kebebasan beragama itu dalam pengertian yang sebenarnya.  Kekuatan negara dan kekuatan sipil pencinta perdamaian menjadi kunci dalam menjalankan sistem ini. Kepentingan politik berbasis identitas seperti yang diterapkan Trumph hampir saja membuat demarkasi dan jarak antara state dan church menjadi kabur dan melahirkan kekacauan identitas.

Kebebasan beragama adalah isu utama demokrasi. Negara US dan Eropa menjadi penyumbang gagasan ini ke dunia bersamaan dengan penerimaan terhadap ide negara demokrasi secara luas. Tidak mengherankan apabila seluruh negara global yang menganut sistem demokrasi menggunakan jargon “kebebasan beragama” sebagai bagian dari kampanye sistem demokrasi. Termasuk di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan ide kebebasan beragama di Indonesia? Apakah bisa menerapkan model kebebasan beragama Amerika di negara kita? Isu kebebasan beragama menjadi salah satu percakapan krusial di Indonesia. Secara politik, konstitusi Indonesia menyatakan secara eksplisit kebebasan beragama ini. Dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945, negara memberi jaminan kepada setiap warga negara Indonesia untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing, termasuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya itu. Jaminan konstitusional ini menjadi jangkar penting untuk membangun “kebebasan beragama” di Indonesia.

Meski memiliki idiom yang serupa, namun wajah kebebasan beragama di Indonesia berbeda dengan US. Kebebasan penuh tidak bisa diberikan. Ada batasan-batasan yang disahkan oleh konstitusi. Perbedaan yang paling mendasar tentu saja adalah posisi ateisme. Negara Indonesia secara konstitusional tidak menerima gagasan ateisme dan sudah dibatasi sejak dini melalui sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bentuk negara Indonesia berbeda. Negara ini tidak menganut sekularisme sebagaimana US. Negara berada di garis tengah antara ide agama dan ide sekuler. Tidak meninggalkan agama sama sekali tetapi juga tidak menggunakannya secara total. Indonesia berada di titik tengah di antara dua sistem negara global. Nilai agama diserap dan diberi ruang untuk membangun relasi dengan negara, tetapi agama tidak mendapatkan ruang yang bebas. Indonesia bereksperimen dengan sesuatu yang tidak lazim di dunia. Justru disitu keunikannya dan tantangannya.

Dengan model negara seperti ini, Indonesia tidak akan menjadi negara-agama seperti Arab Saudi dan negara dengan penduduk mayoritas Islam. Indonesia juga tidak akan bisa memberikan kebebasan seluas yang diberikan oleh negara US kepada warganya. Sebut saja, gagasan pernikahan sesama jenis hampir tidak mungkin mendapatkan tempat dalam nalar politik di Indonesia. Ini karena desain politik di Indonesia merefleksikan kepentingan kelompok agama dan seluruh konsep agama menolak sistem pernikahan homoseksual.

Negara berada di antara kepentingan agama dan kepentingan nasional. Dinamika kebebasan beragama di Indonesia pada akhirnya ditentukan oleh kekuatan sipil dalam masyarakat Islam, sebagai kelompok mayoritas. Sistem negara Indonesia pada akhirnya akan mengikuti kepentingan kelompok mayoritas. Secara natural ini tidak dapat dihindari. Kepentingan mayoritas akan membias dalam kepentingan negara.  Kekuatan sipil yang moderat dan terbuka menjadi sangat dibutuhkan. NU, Muhammadiyah, dan beberapa organisasi Islam lainnya memainkan peran yang sangat penting. Di kelompok agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu dan kelompok agama lainnya pun membutuhkan organisasi yang berhaluan moderat dan berwatak nasional.

Saya menyebut masyarakat Islam sebagai koentji refleksi sosiologis. Dengan platform demografis sebesar 85%, masyarakat Islam sangat menentukan irama kebebasan beragama di Indonesia. Perubahan masyarakat Islam pasca reformasi membawa dinamika bagi kebebasan beragama. Muncul kelompok-kelompok dalam Islam yang berorientasi politik simbol berimplikasi pada isu kebebasan beragama. Kasus Ahmadiyah dan Syiah misalnya muncul terus menerus karena dipersoalkan oleh kelompok-kelompok dalam Islam yang menganggap Ahmadiyah dan Syiah sebagai kelompok sesat.  

Dalam 20 tahun terakhir, negara tampak kewalahan menghadapi gelombang terorisme dan populisme Islam. Tumbuhnya varian Islam populis bersisian dengan kebutuhan politik electoral dan menumbuhkan aliansi-aliansi taktis.  Para politisi tanpa ragu mengadopsi pemikiran populisme Islam untuk mendukung agenda-agenda personalnya dalam memperoleh popularitas dan tentu saja elektabilitas. Perhelatan politik pastilah melibatkan idiom-idiom agama. Gagasan tentang Islam politik yang berujung pada dominasi pengaruh Islam terhadap negara terus menerus dipelihara dan diformulasi dalam berbagai bentuk.

Di titik inilah kehadiran kelompok Islam tengah yang sebenarnya mainstream menjadi sangat kontekstual. NU, Muhammadiyah dan organisasi Islam dari Sunni moderat memberi sokongan penuh terhadap negara dalam hal menjaga ritme sosial. Pemerintah RI sangat terbantukan dengan peran ormas-ormas keagamaan ini.

Prototipe kebebasan beragama di Indonesia tidaklah sama dengan kebebasan beragama di US. Kebebasan beragama di US dikendalikan oleh sistem ekonomi dan pasar sedangkan di Indonesia kebebasan beragama dikendalikan oleh negara dan kekuatan mainstream. Oleh karena itu, idiom utama kebebasan beragama di Indonesia bukanlah kebebasan individual tetapi harmoni sosial.

Dalam kacamata religious freedom, harmoni bukan cara yang tepat. Harmoni tidak memberikan kebebasan tetapi konsensus. Dalam banyak hal, konsensus biasanya memenangkan “kepentingan” kelompok mayoritas dan tidak terlalu memedulikan kepentingan dan kebutuhan kelompok minoritas. Negara bahkan hanya mengafirmasi kepentingan mayoritas atasnama harmoni sosial.

Akan tetapi, dalam konteks Indonesia, sistem sekularisme US justru akan menimbulkan resistensi dari berbagai sudut, baik agama maupun budaya. Pilihan atas idiom “harmoni” menjadi sangat kontekstual untuk kebutuhan pengaturan sosial di Indonesia. Harmoni menjadi ruang kontestasi bersama, sebagaimana freedom di US.

Pendekatan harmoni memang lebih mengedepankan fungsi ketimbang struktur. Jebakannya di situ. Negara harus lebih kuat dalam hal penegakan hukum dan pengembangan pelayanan berbasis keadilan. Bias mayoritas harus dikurangi hingga ke titik paling rendah. Mari kita ambil contoh aturan pendirian rumah ibadah. Pasal yang menyebutkan jumlah penganut minimal 90 orang dan pendukung 60 orang adalah bagian dari solusi sosiologis. Tentu saja ada bias mayoritas di sini. Tetapi, peraturan ini dibuat sebagai resolusi terhadap konflik berbasis rumah ibadah yang terjadi berulang-ulang dan sequences.

Peraturan ini berorientasi untuk “menenangkan” kelompok mayoritas. Jelas secara politik berpihak kepada kelompok dominan. Mereka menjadi penentu boleh tidaknya rumah ibadah warga minoritas berdiri. Ruang permainannya di sini. Negara harus hadir dengan pendekatan konstitusi. Apabila seluruh persyaratan adiministratif terpenuhi, negara melalui pemerintah daerah dan kementerian agama setempat harus memberi jaminan atas berdirinya. Masyarakat harus pula dibiasakan menggunakan pendekatan kultural yang tradisional. Apabila hak konstitusi dan mandatori kultural mengiringi peraturan ini, harmoni telah ditemukan sebagai bagian dari etika sosial, bukan pengaturan politik dari negara. Dengan cara inilah, kapal Indonesia mengarungi samudera.

Harmoni di Indonesia tidak bisa sepenuhnya diberikan kepada negara. Sekali lagi, pendekatan negara terhadap harmoni adalah stabilitas, bukan praktik kultural. Negara bisa saja menggunakan pendekatan kekuasaan agar stabilitas terjaga atas nama harmoni atau kerukunan. Indonesia memiliki kekayaan kultural yang memiliki mekanisme alamiah yang berbasis harmoni. Kita menyebutnya kearifan lokal.

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *