Black Lives Matter

Oleh: Saprillah – Kepala Balai Litbang Agama Makassar
Saya bersama rombongan tiba pada Minggu, 22 Mei 2022 pukul 01.30 dini hari di Washington DC, ibu kota USA. Salah seorang interpreter kami, Shawn Calaghan, menjemput kami di Bandara Dulles, Virginia. Kedatangan kami telat karena ada delay di Bandara Dallas, Texas. Ada badai yang harus dihindari. Rute perjalanan menjauh. Jarak tempuh menjadi jauh dan kami tiba lebih lambat.
Bayangan saya tentang Amerika sesungguhnya tidak diwakili oleh suasana kota DC (sebutan popular untuk Washington). Tidak ada gedung menjulang tinggi sebagaimana di film-film. Padahal ini ibu kota. Saya menggunakan preferensi Indonesia. Ibu kota negara atau provinsi adalah kota yang paling ramai. Ternyata di USA, tidak seperti itu. Ibu kota setiap negara bagian justru lebih sunyi dan lebih kecil dari kota lainnya.
Setelah istrahat seadanya (dibumbui dengan drama jetlag), petualangan di DC mulai. City tour selama satu jam lebih mulai pukul 14.00. Kami akan diajak keliling kota untuk melihat lebih dekat ibu kota negara adidaya. Kota rapi. Desain kota tertata rapi. Pengaturan jalan dengan menggunakan angka dan nama seluruh state di USA. Saya menemukan jawaban mengapa di DC tidak ada gedung pencakar langit. Pemandu kami, Mrs Anne, menjelaskan ada aturan khusus yang berlaku di sini. Tinggi gedung tidak boleh melebih lebar jalan. Aturan yang unik tetapi cukup berkarakter. Suasana kota menjadi lebih nyaman dan teratur, tentu saja.
Kami diberi kesempatan melihat Capitol, White House, Lincoln Memorial dan Martin Luther King Memorial. Di berbagai sisi jalan, banyak patung-patung dari tokoh revolusi, pejuang, dan cendekiawan seperti Einstein. Ini menandakan bahwa kota DC (begitu juga dengan kota lain) dimanfaatkan untuk merawat ingatan historis. Sayangnya kami tidak berkesempatan mengunjungi museum Smithsonian yang konon sangat keren.
Ada satu kalimat yang menarik perhatian saya selama tur kota ini, yaitu Black Lives Matter. Kalimat ini terlihat ada di mana-mana di kota DC. Pagar tembok gereja, graffiti di tembok jalanan, dan beberapa tempat lainnya. Kalimat ini tentu saja tidak muncul begitu saja. Ada konteksnya. Tentang sentiment kulit berwarna yang menjadi persoalan Amerika sejak lama. Black Lives Matter adalah pernyataan soliditas sekaligus merefleksi gejala diskriminasi ras yang tak pernah usai. Bahwa nyawa orang hitam itu penting.
Black Lives Matter adalah gerakan perlawanan yang dimulai tahun 2013. Gerakan online melalui tagar dan perlahan-lahan bertransformasi menjadi gerakan sosial. Gerakan ini diinisiasi oleh tiga aktivis perempuan kulit hitam bernama Patrisse Cullors, Alicia Garca, dan Opal Tometi. Tagar ini diluncurkan sebagai reaksi atas pembunuhan Zimmerman, seorang pemuda berkulit hitam yang ditembak oleh petugas polisi. Anehnya, sang polisi bebas tanpa hukuman. Gerakan Black Lives Matter ini kemudian mendorong protes dan menyebabkan sang polisi akhirnya ditahan.
Tujuh tahun berselang, gerakan ini mendapatkan momentum besar dari kasus Goerge Floyd. Peristiwa ini terjadi pada bulan Mei 2020. Floyd seorang pemuda berkulit hitam yang harus meregang nyawa karena mengalami kekerasan dari opsir polisi yang bernama Derek Chauvin. Kasusnya sederhana. Floyd dituduh membeli rokok dengan uang palsu sebesar 20 USD. Polisi menangkapnya tetapi Floyd menolak untuk diangkut. Akibatnya, Derek Chauvin menekuk lutut di leher Floyd selama beberapa menit. Floyd kemudian lemas. Ia dilarikan ke rumah sakit dengan kondisi pingsan. Ia pun meninggal beberapa jam kemudian. Kematiannya membangkitkan protes. Gambar yang menunjukkan Floyd dengan leher ditekuk oleh sang polisi viral di media sosial. Black Lives Matter menggema danmenemukan konteks yang lebih besar. Segera ia menjadi idiom perlawanan global.
Idiom Black Lives Matter yang saya temui dengan mudah di sepanjang jalan DC adalah puncak gunung es dari rasisme di Amerika. Trend rasisme muncul dalam banyak tindakan. Tidak hanya kepada ras kulit berwarna tetapi juga kepada identitas lain seperti Yahudi dan Islam. Ini berarti perjuangan US untuk menjadi bangsa terdepan dalam hal kesetaraan identitas akan diuji seberapa kuat mengurangi atau menihilkan fenomena rasisme.
Yang menarik tentu saja respons masyarakat sipil. Perlawanan masyarakat sipil US terhadap rasisme adalah kekuatan utama. Gereja-gereja menjadi tempat kampanye anti-rasisme. Di salah satu gereja di jantung kota DC terpampang dengan nyata spanduk Black Lives Matter. Di Gereja Katolik tempat Presiden Kennedy disemayamkan, ada spanduk bertulis “Made in God’s image, pray and work to end racism”.
Rasisme adalah musuh global. Setiap negara berhadapan dengan munculnya kelompok rasis dengan membawa sentimen primordial, ras, agama, dan jenis kelamin. Selalu saja ada kelompok manusia yang merasa dirinya lebih mulia. Peristiwa holocaust adalah refleksi kebencian satu ras yang merasa unggul atas ras lainnya.
US memang berhasil menata relasi sosial berbasis agama dengan sistem pemisahan negara-agama tetapi negara ini dihantui dengan sentimen rasisme terhadap kulit berwarna. Sejarah Amerika adalah sejarah perlawanan terhadap rasisme. Demokrasi Amerika adalah refleksi dari kemenangan bangsa ini melampaui pergulatan identitas berbasis ras. Meski itu disadari selalu bersifat processual.
Membaca BLM dalam Konteks Indonesia
BLM dalam konteks Indonesia adalah SARA. Istilah SARA sudah sangat lama menjadi idiom berbahaya. Jargon politik setiap rezim adalah “menjauhkan” bangsa Indonesia dari isu SARA. Konflik SARA adalah momok yang menakutkan. Dan, bangsa Indonesia memiliki cukup banyak pengalaman konflik SARA, ini. Hampir semua wilayah di Indonesia memiliki pengalaman konflik dengan skala dan pendekatan resolusi yang berbeda-beda.
Di Luwu Utara, kabupaten kelahiran saya pun tak luput dari konflik sosial. Pasca reformasi, paling tidak ada konflik yang cukup besar di Padang Sappa, Dandang, dan Malangke. Seluruh konflik ini berbasis sentimen SARA. Mekanisme sosial memang bisa mempercepat proses penyelesaiannya. Namun, ini menunjukkan bahwa potensi konflik laten berbasis SARA merupakan sesuatu yang patut diwaspadai bersama.
SARA adalah singkatan suku, agama, dan ras. Kita menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki lapisan perbedaan suku (dengan ras yang sama), agama (ada 6 agama popular dan beberapa agama superminoritas yang jarang didengarkan seperti Yahudi, Bahai, Tao dan agama suku), dan juga ada perbedaan ras (ras melayu dan ras papua). Tiga komponen perbedaan ini telah menjadi bagian dari dramatical pendirian bangsa Indonesia.
Dari tiga potensi itu, agama menempati porsi yang paling besar. Agama memang tidak pernah menjadi pemicu tetapi dia menjadi tempat persemian yang mendorong konflik berkembang lebih cepat dan lebih besar. Indonesia memang mengalami persoalan dengan identitas agama sejak lama. Agama sudah menjadi perbincangan sejak kemerdekaan diproklamirkan. Pilihan antara negara-agama yang didorong oleh tokoh politik berbasis agama dan negara bebas agama menjadi perbincangan alot. Pilihannya berakhir pada kesepakatan negara tanpa agama tetapi tidak membebaskan diri dari pengaruh agama. Pancasila dijadikan sebagai filosofi dasar. Sila pertama merefleksikan bentuk relasi negara Indonesia terhadap agama.
Pilihan ini pada dasarnya sangat cocok dengan karakteristik Indonesia dengan berbagai persoalan yang mungkin mengikutinya. Persoalan yang utama adalah bias mayoritas. Tekanan kelompok mayoritas seringkali menyebabkan regulasi menjadi bias. Sebut saja model kartu tanda penduduk.
Penyebutan agama di kolom KTP memang sesuai dengan kebutuhan kelompok mayoritas dan kelompok agama yang diafirmasi secara formal oleh negara. Tetapi menjadi problematik bagi umat beragama lainnya. Para penganut kepercayaan sangat lama berada di bawah bayang-bayang kelompok agama formal. Barulah beberapa tahun belakangan, eksistensi kelompok penghayat mendapatkan afirmasi. Mereka tidak perlu lagi mencantumkan salah satu agama resmi sebagai tameng kewarganegaraan mereka. Orang-orang Indonesia yang beragama Yahudi di Manado sampai saat ini menulis agama Kristen di KTPnya, dan secara statistik pastilah dianggap sebagai penganut Kristen.
Sentimen SARA di Indonesia menjadi persoalan serius karena berujung pada konflik sosial. Selama 25 tahun terakhir, Indonesia menghadapi gejala retakan sosial yang berbasis pada sentiment SARA. Konflik etnik China di Makassar, konflik Ambon, Poso, Ketapang, dan Mamasa adalah konflik yang mengagetkan, menyedihkan dan sekaligus menunjukkan kerentanan negara ini terhadap isu SARA. Indonesia juga menghadapi gerakan terorisme berbasis spirit keagamaan. Gerakan ini cukup berpengaruh pada dinamika sosial politik di Indonesia. Perang terhadap gerakan terorisme berimplikasi pada akumulasi gerakan sosial berbasis agama. Entah apakah sistem penanganan negara terhadap terorisme yang kurang tepat atau kepentingan politik di belakang gagasan ini bekerja dengan kuat hingga pada saat ini sangat sulit rasanya keluar dari bayang-bayang gerakan ekstrimisme. Kasus peledakan bom di Gereja Katedral Makassar pada awal tahun 2021 menjadi alarm bahwa gerakan ini masih ada dan mungkin terus ada.
Black Lives Matter adalah seruan untuk kulit berwarna tetapi spiritnya universal. Kulit hitam adalah tanda sosial dari kelompok yang dianggap kelas dua. Black dalam konteks ini bukan sekadar warna kulit tetapi warna sosial. Di Indonesia, kita tidak mengenal sentiment kulit tetapi kita terus dihantui sentimen mata sipit (anti-China) dan sentiment minoritas.
Black lives matter apabila ditransformasikan ke konteks Indonesia bisa berarti Chinese lives matter, Ahmadiyah lives matter, Syiah lives matter, Papua lives matter dan all minorities live matter. Seluruh kelompok minoritas ini memiliki hak untuk hidup, hak untuk beribadah, hak untuk dilayani, hak untuk berkumpul. negara Indonesia berkewajiban memenuhi semua kebutuhan itu karena all Indonesian lives matter.