
GORONTALO, BLAM – Salah satu tugas dan fungsi Balai Litbang Agama Makassar (BLAM) adalah sebagai supporting agent dari Kementerian Agama untuk menyuplai data-data terkait dengan kebijakan pembangunan bidang agama. Olehnya itu, sebagai upaya mengevaluasi pelaksanaan orientasi moderasi beragama, BLAM menginisiasi pertemuan antar stakeholder dalam wilayah kerja Kementerian Agama Provinsi Gorontalo.
Digelar di Hotel Elmadinah Asrama Haji Gorontalo, Jumat (25/11), kegiatan ini dihadiri utusan dari IAIN Sultan Amai Gorontalo, Kanwil Kemenag Provinsi Gorontalo, Kemenag Kota Gorontalo, Kemenag Kabupaten Gorontalo, serta utusan dari MIN, MTsN, dan MAN Kota Gorontalo.
Mewakili Kakanwil Kemenag Gorontalo yang berhalangan hadir, Reinne Febriana Koraag, pembina masyarakat Katolik, menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada BLAM atas terlaksananya kegiatan Evaluasi Pelaksanaan Orientasi Moderasi Beragama di Gorontalo, ini. Reinne berharap moderasi beragama menjadi strategi jitu dalam menjaga agama, suku, dan budaya di Indonesia yang beragam ini.
“Semoga apa yang menjadi tujuan pertemuan ini dapat tercapai dengan baik dan semoga moderasi beragama ini sungguh-sungguh menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia yang beragam,” ucap Reinne.
Sementara itu, Kepala BLAM, Saprillah, saat membuka kegiatan secara resmi mengibaratkan moderasi beragama sebagai obat dan vaksin dalam menghadapi tantangan kehidupan beragama dan menguatkan sendi kebangsaan.
“Moderasi beragama ini, kalau mau melihat tamsilnya, bagi orang yang terpapar adalah obat, tapi bagi yang sehat adalah vaksin. Sehingga semua orang harus memahami moderasi beragama dan kita yang ada di Kementerian Agama adalah instrumen penggeraknya,” ujar pria yang juga dikenal sebagai instruktur nasional moderasi beragama, ini.
Saprillah meyakini kolaborasi sinergis di jajaran Kementerian Agama dalam penguatan moderasi beragama akan mencapai tujuannya jika digerakkan secara bersama-sama.
“Kunci moderasi beragama adalah membangun ekosistem. Kita perlu membangun jejaring. Setiap kita yang berada di bawah naungan Kementerian Agama punya mandatory untuk menggerakkan moderasi beragama, setiap kita di Kementerian Agama merupakan instrumen penggerak moderasi beragama,” ujar Saprillah.
Model evaluasi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah model FGD (focus group discussion) yang menerapkan metode CIPP. Model CIPP melihat kepada empat dimensi yaitu dimensi konteks, dimensi input, dimensi proses dan dimensi produk.
Metode evaluasi CIPP mulai dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam pada tahun 1966. Stufflebeam menyatakan model evaluasi CIPP merupakan kerangka yang komprehensif untuk mengarahkan pelaksanaan evaluasi formatif dan sumatif terhadap objek program, proyek, personalia, produk, institusi, dan sistem. Dibandingkan dengan model-model evaluasi yang lain, model CIPP memiliki beberapa kelebihan antara lain: lebih komprehensif, karena objek evaluasi tidak hanya pada hasil semata tetapi juga mencakup konteks, masukan (input), proses, maupun hasil. (nr)