Oleh: Jenri Ambarita, M.Pd. K – Dosen Institut Agama Kristen Negeri Ambon
Hidup bisa diibaratkan seperti sebuah Puzzle. Terdiri dari banyak kepingan beragam bentuk yang harus disusun agar membentuk keutuhan yang sempurna. Perlu ketelitian dan kesabaran yang tidak sedikit untuk menata dan mengamati setiap bentuk dan gambar agar tidak terjadi kesalahan bentuk.
Setiap kepingan yang ada harus disusun pada tempat yang seharusnya. Kepingan yang satu tidak bisa menggantikan kepingan lain. Barangkali, satu atau dua kepingan bisa ditempatkan pada tempat kepingan lain. Namun, gambar yang dihasilkan tentu tidak akan sempurna. Semakin tinggi level kesulitan pada puzzle yang dikerjakan, semakin banyak pula kepingan yang harus di susun. Namun, di sanalah letak keseruannya. Setiap tantangan memberikan kesenangan tersendiri pada saat memainkannya.
Seorang kuli bangunan harus menyusun setiap potongan bata agar menjadi satu bangunan utuh. Terlihat mudah, tetapi butuh keterampilan dan kesabaran untuk mengerjakannya. Ada proses yang tidak sebentar dalam menyelesaikan suatu struktur bangunan. Pengalaman dari seorang tukang juga menjadi penentu berhasil atau tidaknya bangunan tersebut.
Semakin banyak pengalaman, semakin baik pula kemampuan yang dimiliki tukang untuk menghasilkan bangunan yang kokoh. Hal ini juga menimbulkan kekaguman bagi kami ketika melihat beberapa gedung yang berdiri kokoh sekalipun bangunan di sekitarnya ambruk saat diterpa gempa yang terjadi 28 September 2018 di kota Palu (Gedung Swiss-Bell Hotel, Palu).
Demikianlah pengalaman sendiri pun merupakan patahan-patahan kecil dari proses yang dilalui. Tidak ada bongkahan utuh yang bisa diambil untuk langsung digunakan.
Berbicara perihal struktur bangunan, masyarakat Balaroa di Kota Palu masih banyak yang bertahan hidup di atas patahan sebagai dampak gempa yang terjadi pada tanggal 28 September 2018. Seorang saksi mata bernama Han yang merupakan penduduk asli suku Kahili mengatakan bahwa mereka memilih bertahan hidup di atas patahan sisa gempa yang menimpa mereka di desa Balaroa. Setelah gempa yang merusak struktur bangunan yang ada, sebagian masyarakat memilih bertahan hidup di rumah mereka. Patahan-patahan yang tersisa sebisa mungkin diperbaiki, disusun kembali agar bisa ditempati. Mereka tidak meninggalkannya karena mereka tahu, di tengah patahan itu mereka masih bisa bertahan.
Hal yang sama juga dapat kita lihat dalam proses menulis. Kata demi kata harus disusun improvisasi kalimat yang indah. Kalimat demi kalimat disusun menjadi satu paragraf. Paragraf disusun menjadi halaman demi halaman yang berisi banyak informasi yang jelas.
Dalam menulis, ada proses yang harus dijalani. Semua diawali dengan tulisan sederhana. Kemudian, secara perlahan kemampuan menyusun patahan-patahan kata menjadi kalimat yang utuh akan berkembang. Seperti kita tahu, semua penulis hebat berawal dari orang-orang yang belajar mengenal huruf dan menulis huruf demi huruf. Sampai akhirnya mereka mencapai level yang lebih tinggi lewat proses yang dijalani.
Untuk mencapai level itu memang tidak mudah, oleh sebab itu Balai Litbang Agama Makassar melaksanakan satu kegiatan pendampingan penulisan artikel berkualitas dengan tema “Coaching Clinic”. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang sangat penting agar setiap orang yang memiliki kerinduan untuk menulis dan juga memiliki wadah untuk belajar bersama. Dengan demikian, banyak orang yang bisa menghasilkan tulisan yang menarik dan bermanfaat bagi pengembangan keilmuan.
Melalui pendampingan yang dilaksanakan oleh Balai Litbang Agama Makassar juga diharapkan tulisan-tulisan yang dihasilkan lebih berkualitas dan asik untuk di baca. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. H.M. Hamdar Arraiyah, M. Ag, yang merupakan salah seorang reviewer jurnal yang sekaligus menjadi coach dalam kegiatan mengatakan bahwa tulisan itu ibarat sebuah gedung yang teridiri dari susunan ruang yang jelas dan rapi sehingga menjadi satu buah bangunan yang utuh dan menarik. Jika bangunan tidak memiliki ruang-ruang yang ditata rapi, maka tulisan itu hanyalah sebuah gedung hampa yang kurang menarik.
Menulis butuh latihan dan konsitensi. Ada banyak pengalaman-pengalaman pahit dalam memulai untuk menulis. Patahan demi patahan pengalaman, manis pahitnya kegagalan, serta beberapa patahan keberhasilan akhirnya membentuk sosok penulis yang kuat secara mental dan memiliki kemampuan untuk menciptakan tulisan yang baik. Bukan sekadar menyusun kalimat demi kalimat, tetapi setiap hurufnya disusun dengan baik sehingga tulisan yang dihasilkan memiliki nilai yang baik.
Kaca mungkin indah dijadikan dinding rumah. Namun, susunan batu akan lebih kokoh. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya. Seorang penulis dituntut untuk berpikir kreatif dan realistis. Salah menempatkan kata atau kalimat akan mempengaruhi struktur yang sudah ada. Pada akhirnya, seorang penulis tak hanya mengumpulkan dan menyusun patahan kata. Tetapi juga mengumpulkan sebanyak mungkin patahan proses untuk membentuk pengalaman yang takkan bisa didapat secara instan.
Seorang penulis harus punya sejuta ide di dalam kepalanya dan ide itu bisa ditemukan di masa saja dan kapan saja. Seperti pernyataan dari bapak Dr. H. Saprillah, S.Ag., M. Si yang menjabat sebagai Kepala Balai Litbang Agama Makassar, “Ada saat ini ada banyak ruang yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat terjadinya transaksi ilmu pengetahuan, salah satu contoh, di bandara, di café atau di mana saja”. Demikian juga dengan ide tulisan sederhana ini terlahir dari hasil transaksi pengetahuan di atas patahan gempa likuifaksi di Balaroa, Palu.
Namun, harus dipahami bahwa tidak berhenti hanya sebatas ide saja, karena ide itu hanya berupa potongan kata atau kalimat. Begitu acak sehingga butuh ketelatenan dalam menatanya menjadi satu kesatuan. Di sinilah seorang penulis menetap. Hidup di atas patahan-patahan kecil berupa huruf dan kata.
Patahan-patahan acak yang membuat seorang penulis dapat merangkak naik. Patahan yang memberinya tantangan dan memancingnya untuk bermain di atas setiap patahan. Penulis tak pernah lepas dari patahan yang melayang-layang di kepala mereka.
Penulis tanpa patahan kata akan kehilangan tinta penanya. Ia punya pena, tapi tak ada tinta untuk ditorehkan. Hidup di atas patahan adalah gambaran sederhana, tetapi menyeluruh yang menggambarkan hidup seorang penulis. Patahan-patahan itu adalah nyawa seorang penulis karena penulis adalah wujud nyata dari patahan-patahan itu sendiri. Oleh sebab itu, apa yang kita tulis merupakan perwujudan diri kita sendiri. Bijak dalam memilah patahan yang akan dipakai menjadi salah satu kunci keberhasilan penulis.
Menulislah! karena karya itu melampaui penulisnya. Apa yang diucapkan, bisa saja akan dilupakan. Tetapi, apa yang kita tuliskan sudah pasti akan diingat dan bermanfaat.