MAKASSAR, BLAM — Balai Litbang Agama Makassar (BLAM) bekerjasama dengan Alumni Engagement Innovation Fund (AEIF) 2022, PPIM UIN Jakarta, Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Poddium, dan Data Cerdas Indonesia menyusun modul kebinekaan untuk para peserta didik sekolah menengah atas (SMA). Kegiatan ini didukung oleh Kedutaan Amerika Serikat (U.S. Embassy and Consulates) melalui dana hibah. Modul kebinekaan ini mengusung tema Paraikatte yang merupakan salah satu falsafah lokal Sulawesi Selatan.
Pelaksanaan pembuatan modul ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu menyelenggarakan diskusi terarah melalui forum discussion group (FGD) dengan para stakeholder pendidikan di Kota Makassar diantaranya dari perguruan tinggi, perwakilan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulsel, perwakilan lembaga pemerhati pendidikan, dan perwakilan guru-guru di Kota Makassar. Kegiatan ini dirangkaikan dengan acara pembukaan kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 19 s.d 20 Agustus 2022 di Balai Litbang Agama Makassar.
Tahap berikutnya adalah workshop penyusunan komponen-komponen dan substansi modul kebinekaan berbasis kearifan lokal Sulawesi Selatan. Kegiatan ini diikuti oleh tim penyusun modul dan guru-guru hasil seleksi sebagai praktisi ahli. Kegiatan berlangsung pada tanggal 24 s.d 28 Agustus 2022 di Balai Litbang Agama Makassar. Tahap selanjutnya adalah tahap uji coba modul pada SMA, MA, dan SMK di Kota Makassar dan berikutnya adalah tahap evaluasi modul dan sosialisasi.
Emily Yasmin Norris (Cultural Affairs Officer, US Embassy), perwakilan Kedutaan Amerika Serikat, dalam sambutan sangat mengapresiasi kegiatan ini dan mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun modul atas terwujudnya program ini.
“Kedutaan Besar AS terus berkomitmen dalam bekerjasama dengan Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan kerjasama strategis untuk masa depan kedua hubungan negara ini yang cerah. Sebagai negara demokrasi ke-2 dan ke-3 terbesar di dunia, negara kita memiliki banyak kesamaan. Kita bisa belajar satu sama lain. Misalnya mengatasi covid-19, polusi, problem udara, depopulasi, deradikalisasi. Ini contoh kerja sama yang kuat antara kedua negara kita,” ujar Emily.
Lebih lanjut, Emily mengatakan bahwa negara Indonesia dan Amerika sama-sama menganut demokrasi dan memiliki masyarakat yang beragama. Motto negara Indonesia dan Amerika memiliki arti yang kira-kira sama: Bhineka Tunggal Ika atau di Amerika Ordovus Onum. Ini berarti dari banyak menjadi satu.
Kepala Balai Litbang Agama Makassar, Saprillah, dalam sambutannya juga mengucapkan terimakasih karena dipercaya sebagai salahsatu tim penyusun modal dan sebagai tempat penyelenggara kegiatan.
Dalam sambutannya, Saprillah memberikan gambaran kondisi kebinekaan dewasa ini. Tantangan besar di mana saat ini ada situasi keberagamaan yang simbolik muncul. Tidak ada masalah sampai sini. Namun seringkali, keberagamaan simbolik berpengaruh pada cara pandang mereka dalam bersosial. Bila ini tidak diintervensi oleh negara, ini bisa menyebabkan gejala intoleransi semakin meluas. Ini baru gejala. Tapi namanya gejala dia bisa berubah, bisa juga tidak. Hanya ada indikasi mengarah ke situ. Banyak riset yang menjelaskan hal tersebut.
Menurut Saprillah, tahun 2017 BLAM melakukan riset ke anak SMA dan menemukan 70% siswa mengatakan bahwa ucapan natal adalah haram. Ini tidak masalah bila terjadi secara natural, misalnya karena memang tidak memiliki teman non-Muslim. Namun, bila ini didorong oleh cara pandang yang simbolik, maka ini menjadi masalah. Ini bisa menimbulkan fenomena saling mengkafirkan. Padahal dalam fiqh, tidak pernah ada pandangan tunggal. Dalam cara pandang simbolik, ini cenderung mendegradasi watak saling mengkafirkan.
“Kemudian soal modalitas, nilai-nilai komunal terefleksi dalam banyak filosofi. Paraikatte itu muncul dari orang Makassar yang memandang manusia sebagai manusia. Maka orang Bugis Makassar selalu melihat orang dalam konteks kemanusiaan. Turunan dari Paraikatte adalah gotong royong. Bentuknya bisa gotong-royong, kerja sama, saling bantu, dan lain-lain. Ini menurut saya menjadi modalitas paling penting dalam menyusun kurikulum, apalagi untuk mencegah disinformasi keagamaan. Atau belakangan disebut sebagai fenomena radikalisme,” imbuh Saprillah.
Di akhir, Saprillah berharap modul ini bisa menjadi salah satu acuan bagi peserta didik untuk menambah wawasan kebinekaan dan mengucapkan selamat bekerja kepada tim penyusun modul.
“Mudah-mudahan sukses selalu,” pungkas Saprillah. (aa)