Moslem Meals: Susahnya dapat Makanan Halal
Oleh: Saprillah
Pukul 06.15 WIB, pesawat Japan Air Lines (JAL) take off menuju Narita, Tokyo Jepang, sebagai tempat transit pertama. Saya dan teman-teman peserta International Visitor Leadership Program (IVLP) akan menempuh perjalanan panjang ke Amerika Serikat via Jepang sekitar 26 Jam. Transit pertama di Bandara Narita, Tokyo, Jepang. Transit kedua di Dallas, Texas, USA, dan tujuan akhir Bandara Dulles Washington DC, USA. Ini perjalanan terpanjang dalam sejarah hidup saya. Meski ada perasaan antusias menuju Amerika, tetapi durasi yang panjang ini tetap saja melelahkan dan membosankan. Tidak banyak pilihan untuk menghibur diri, kecuali tidur selama mungkin.
Pesawat baru saja terbang dan berada dalam posisi taxi kira-kira selama 30 menit. Seorang pramugari mendekati deretan kursi kami dan menanyakan sesuatu yang tak lazim.
“Do you request Moeslem Meal?”
Saya mengernyitkan dahi sedikit. Pengucapan sang pramugari dalam Bahasa Inggris tidak terlalu jelas, plus suara bising pesawat membuat pesannya sulit dimengerti. Setelah diulangi sekali lagi, saya mengangguk. Sebelumnya, di check-in desk Soekarno Hatta sudah diberitahu kalau tiket pesawat saya dan empat kawan lainnya telah diberi tanda pemesanan khusus, moeslem meals. Artinya sepanjang perjalanan 7 jam Jakarta-Narita (bandara transit pertama ke Washington) kami akan mendapatkan sajian makanan halal. Setelah saya menganggukkan kepala, pramugari tersebut memberi kertas kecil berwarna biru yang ditempelkan di meja kami. Kertas itu berlabel m.o singkatan dari Moeslem. Gunanya, agar pramugari lain bisa mengerti kalau deretan kursi ini adalah penumpang dengan “special request”. Beberapa saat setelah “basa-basi” itu, pramugari datang dengan membawa nampan plastik berisi sajian makanan yang disebut dengan makanan muslim atau moeslem meal itu. Isinya, nasi, daging sapi, daun salad, buah dan air putih. Sebagai penegasan, di lapisan luar kemasan makanan tertera label MOML seperti di kursi kami.
Suguhan model ini terus berlanjut ketika ganti pesawat dari Narita ke Dallas, Texas (kali ini dengan menggunakan pesawat American Airlines). Sekadar tambahan, Dallas adalah pintu negara pertama yang kami harus singgahi untuk urusan keimigrasian dan hal-hal administratif lainnya. Sedangkan, pesawat domestic dari Dallas ke Bandara Dulles Washington Dc tidak ada suguhan makanan muslim karena maskapai ini memang tidak menyediakan makanan kecuali minuman dan biskuit.
Istilah makanan muslim bagiku terasa aneh. Sejak kapan makanan memiliki identitas agama? Makanan ya makanan. Babi memang dilarang dikonsumsi oleh umat Islam. Namun, agama tidak menyebutnya makanan non muslim tetapi makanan haram. Sapi boleh dimakan tetapi Islam tidak menyebutnya makanan muslim tetapi halal untuk muslim. Makanan muslim dan halal beda tekanan. Makanan muslim berarti hanya untuk orang muslim sedangkan halal adalah penanda normatif bagi umat Islam. Sedangkan umat lain pun boleh mengkonsumsinya secara bebas. Ini tentu saja masih mungkin diperdebatkan.
Saya memahami dengan baik maksudnya. Moeslem Meal adalah istilah lain dari makanan halal. Diperuntukkan bagi penumpang pesawat yang beragama Islam dengan terlebih dahulu melakukan permintaan khusus. Tetapi, sekali lagi istilah ini bermasalah. Untung saja, rasanya lezat. Apalah arti sebuah istilah, kataku sembari menyantap makanan itu.
Bagi traveler muslim, makanan adalah isu. Apalagi negara yang kami tuju bukanlah negara berbasis umat Islam. Sejak sebelum keberangkatan, topik tentang makanan halal menjadi isu penting. Kami memahami bahwa USA dan Indonesia berbeda dalam hal pengelolaan makanan. Ini negara liberal, juga negara pasar. Negara tidak mengurusi domestik agama. Orang Amerika menyebut istilah religious freedom dengan format separation between church and state. Soal makanan, asal sesuai mekanisme hukum dan perizinan, semua bebas dijual. Tidak ada istilah halal atau haram. Pilihannya selera, bukan ajaran. Anda suka? Silakan beli. Tidak suka? Tinggalkan!
Saya datang dengan budaya dan pendekatan berbeda. Di Indonesia, makanan halal menjadi platform dasar. Tidak ada makanan dan minuman yang boleh beredar di Indonesia tanpa melalui ‘jaminan negara’. Makanan berbasis babi boleh beredar secara terbatas. Bir dan minuman keras lainnya boleh beredar di tempat tertentu. Selebihnya, ilegal.
Moslem meal bukanlah sekadar isu konsumsi tetapi relasi. Basisnya, rekognisi dan apresiasi. Kepentingannya tentu saja ekonomi. Pihak maskapai ingin memberi rasa aman dan nyaman kepada setiap kebutuhan pelanggannya. Tidak ada standar moral di sini. Makanan haram dan halal disajikan semuanya dengan tujuan pelanggan senang dan kelak akan menggunakan maskapai ini lagi.
Rekognisi dan apresiasi adalah kata kunci dalam relasi sosial. Ini bisa dikembangkan dalam berbagai kepentingan. Ideologi maskapai ini adalah modal. Apapun dilakukan agar akumulasi modal tercipta. Persaingan antar perusahaan penerbangan memicu cara kreatif untuk melayani kebutuhan dan kepentingan pelanggan yang datang dengan berbagai latar belakang agama, budaya, dan gaya hidup. Rekognisi dalam pengertian ekonomi tidak tumbuh sebagai upaya untuk membangun karakter sosial tetapi pragmatisme. Sama dengan pembagian kelas, bisnis dan ekonomi dalam pesawat, bukan upaya membangun citra atau gaya hidup tetapi mengakomodir citra dan gaya hidup itu dalam pesawat, sekali untuk mendapatkan akumulasi kapital secepatnya.
Jika kepentingan perusahaan terhadap ide rekognisi dan apresiasi adalah ekonomi, maka kepentingan negara terhadap dua ide ini tentu saja lebih kompleks. Negara -manapun dengan jenis ideologi apapun- paling tidak memiliki dua kepentingan sekaligus, harmoni dan ekonomi. Relasi yang disharmonis, stabilitasi keamanan yang tidak terjamin akan menyebabkan setiap negara kehilangan akses untuk mendapatkan investasi besar dari perusahaan-perusahaan. Negara yang saya maksud adalah negara kapitalis atau negara yang tidak bisa melepaskan diri dari sistem kapitalisme. Yang pertama tentu saja Amerika dan kedua Indonesia.
Dengan sistem separation between church and state, distribusi dan sirkulasi makanan atau minuman tidak diatur dengan perspektif agama, tetapi ekonomi belaka. Negara AS tidak memerlukan badan apapun untuk memberi cap tertentu, kecuali beberapa jenis drugs. Itu pun negara-negara bagian memiliki perbedaan kebijakan. Di beberapa negara bagian, marijuana diperbolehkan dijual secara bebas. Di pasar-pasar makanan, tidak ada pemisahan antara makanan halal dan makanan haram. Pun, hotel yang menyediakan sarapan dengan sangat santai menyediakan sausage turkey dan sausage pork dalam wadah yang berdekatan. Sekali lagi, negara tidak mengatur kepentingan agama terhadap makanan. Setiap kelompok agama dan para pengusaha diberikan kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk soal makanan.
Baiknya adalah relasi antara publik menjadi saling memahami. Para konsumen beragama Islam harus mencari sendiri jenis makanan yang disukai dan sesuai platform agamanya. Seperti saya. Selama tiga minggu, makanan yang saya konsumsi berbasis ikan dan nasi. Sesekali belanja di Popeye, sebuah waralaba yang menyediakan ayam dan nasi. Mirip KFC dan Mc Donald. Selebihnya saya membeli ikan tuna kemasan yang banyak dijual di grosery seperti target dan CVS. Sebagai muslim, saya tidak perlu menyalahkan para penjual makanan yang tidak memisahkan makanan haram dan halal. Saya memahami platform sosiologis negara ini.
Menjadi Minoritas
Pengalaman terhadap moeslem meals ini bukan tentang isi perut saja tetapi pengalaman menjadi minoritas. Saya bisa merasakan bagaimana sulitnya memenuhi hajat dasar. Perlakuan istimewa di pesawat terbang tidak bisa sepenuhnya dirasakan di hari-hari berikutnya. Saya harus berjuang untuk menemukan makanan yang tepat dan pas dengan lidah. Sebagai minoritas, pilihan saya tidak banyak. Saya pun tidak bisa menyalahkan keadaan atau mengutuki kondisi yang tidak berpihak ini. Satu-satunya yang harus saya lakukan adalah berjuang untuk memenuhi hak atas makanan sebisa mungkin.
Hak dasar tentu saja bukan soal makan. Ada banyak hak dasar lainnya yang sulit dilakukan secara bebas oleh kelompok minoritas. Hak beribadah misalnya. Hak beribadah adalah hak tidak bisa dikurangi. Non-derogable rights. Hak untuk beribadah memiliki jejaring dengan hak-hak lain seperti hak mendapatkan rumah ibadah, hak untuk mendapatkan jaminan negara terhadap kebebasan menjalankan rumah ibadah, hak perlindungan dari negara atas gangguan yang memungkinkan kebebasan beribadah tidak terpenuhi. Keseluruhan hak ini kadang-kadang terganggu dalam jejaring relasi mayoritas minoritas.
Pengalaman kesulitan mendapatkan “hak atas makan” memberikan saya dua pelajaran penting. Pertama, ketersediaan ruang bagi minoritas menjadi mutlak. Kaum minoritas butuh ruang untuk berjuang. Di Amerika, perjuangan atas hak adalah perjuangan individual. Negara menyediakan apa saja dan individu berjuang untuk mendapatkan itu. Ketersediaan ruang ini menjadi penting. Di Indonesia, ketersediaan ruang tidak dimonopoli negara tetapi juga kelompok mayoritas. Kekuatan sipil berbasis kepentingan mayoritas seringkali membatasi ruang yang secara politik dan regulasi disediakan oleh negara. Kasus penolakan rumah ibadah atau pembatasan makanan di ruang publik adalah bagian dari pembatasan ruang terhadap kelompok minoritas. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi negara kita yang memilih mengakomodasi agama ke dalam negara.
Kedua, adaptasi minoritas. Sebagai minoritas, pilihan saya terhadap makanan tidak banyak. Yang bisa saya lakukan adalah adaptasi dan negosiasi. Saya memang berhak untuk makan atau tidak, tetapi pilihan terhadap makanan tidak seluas kebebasan yang saya punya. Suka atau tidak, saya harus mengerti dan sedikit mengalah atas keadaan. Termasuk kemungkinan memakan “makanan halal” dari wajan yang sama dengan makanan haram. Strategi inilah yang paling rasional dilakukan oleh kelompok minoritas dimanapun dan atas isu apapun. Cara kreatif dalam internal agama mutlak dibutuhkan. Di Washington DC, ada banyak masjid yang melakukan salat Jumat dua hingga tiga kali sehari. Mereka mengadaptasi pendapat Imam Hanafie dan menyebutnya sebagai fiqih minoritas. Cara kreatif kelompok minoritas untuk tetap bisa berekspresi. Di Indonesia, cara seperti ini sudah lama dilakukan oleh kelompok-kelompok minoritas agar bisa bertahan hidup sebagai “dirinya sendiri”, meski dalam ruang yang terbatas.