BLA MAKASSAR
Jl. AP PETTARANI NO 72A

Di Tangan Anak-Anak Citayam, Sekolah telah Mati.

Oleh

Saprillah

Dulu, dulu sekali. Saya pernah menulis artikel tentang matinya sekolah. Saat itu, saya terpengaruh penuh dengan gugatan terhadap dunia pendidikan yang mengalami kapitalisasi. Saya terpesona membaca buku Neil Postman tentang “Matinya Sekolah”.

Kritiknya yang saya amini adalah kenyataan bahwa sekolah telah mati sebagai pengantar manusia menuju peradaban. Sekolah hanyalah satu alat ekonomi saja, bukan alat norma atau pengembangan moralitas. Ini siklus ekonomi belaka. Pengelolaannya seluruhnya mempertimbangkan kepentingan ekonomi. Anak-anak manusia dididik di sekolah dengan timeline tertentu agar siap bekerja dan membantu ide kapitalisme hidup abadi. Itu kita lihat sekarang!

Kala itu, ide matinya sekolah dari Neil Postman atau kritik tajam dari Eric Fromm, Ivan Ilich atau Paulo Freiere hanya bersifat konseptual atau gugatan belaka. Saya sendiri menulisnya “hanya” dalam bentuk luapan kegelisahan. Faktanya, para pengkritik sekolah dan saya adalah orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan sedalam-dalamnya.

Ide matinya sekolah tidak pernah menemukan bentuk kongkrit. Tidak ada yang bisa menahan laju sekolah sebagai pintu satu-satunya menuju masa depan. Siapapun anak manusia yang enggan melewati pintu sekolah, dia akan terbuang. Tiap tahun perguruan tinggi membludak. Daya tampung universitas tidak cukup. Perguruan tinggi swasta terbentuk di mana-mana. Sekolah tetap menang!

Para pengkritik dunia pendidikan, malah berpendidikan tinggi. Sebut saja saya. Saya bahkan menempuh pendidikan hingga jenjang tertinggi. Meskipun alasan menempuh pendidikan tinggi, tidak sepenuhnya sesuai yang dibayangkan orang. Ada proses negosiasi di sana. Akhirnya, saya menyadari bahwa ide “menghancurkan” sekolah adalah ide naif. Tidak ada manusia yang benar-benar bisa menolak sekolah.

Hingga akhirnya revolusi teknologi terjadi. Deformasi sosial terjadi. Sekolah mulai punya banyak pesaing. Perubahan yang paling terlihat adalah cita-cita anak muda global. Pekerjaan sebagai YouTuber muncul menjadi pesaing dari lima besar cita-cita anak yang puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun bertahan seperti dokter, pengusaha, presiden, polisi, guru.

Revolusi digital memberi ruang yang mewah kepada seluruh lapisan sosial untuk hadir. Keadilan ruang diberikan secara bebas. Persaingan-persaingan perusahaan telekomunikasi memunculkan gadget berbiaya murah. Pengguna media digital pun semakin luas. Di ruang ini, atribut sekolah nyaris punah. Siapapun boleh tampil dengan gaya apapun. Aktor-aktor popular di media digital mulai memunculkan kelas baru dari kalangan bawah. Saya mencatat yang spektakuler adalah alif ba ta. Seorang supir truk yang memiliki skil main gitar level dewa. Petikan guitar akuistik yang diupload melalui chanel YouTubenya menggegerkan dunia musik. Ada banyak reaksi muncul dari musisi internasional. Di dunia tarik suara, ada Zidan. Anak Sulawesi Tengah yang muncul menyeruak ke tengah kota dan menjadi selebriti. Ada Deden Gonzales, pemuda bersuara tinggi yang wara-wiri sebagai cameo di televisi tiba-tiba viral dengan gaya sederhana melantunkan lagu She’s Gone dengan suara sangat tinggi. Band rock legendaris asal Malaysia, Search, merekrutnya sebagai vokalis baru menggantikan Amy Search yang telah pensiun.

Pola deformasi ini memang sudah mulai terlihat dengan munculnya Shinta-Jojo dan Briptu Norman yang menjadi cikal bakal gerakan kebudayaan banal melalui media digital. Media digital memberi semua tempat kepada kreatifitas dan oleh siapapun. Revolusi terjadi. Anak-anak muda kreatif dengan modal platform yang murah bisa mendapatkan tempat dan menjadi pusat perhatian.

Terbaru adalah anak-anak Citayam. Entah mengapa Bonge, Kurma, Jeje, dan Roy tiba-tiba mendapatkan tempat. Mereka adalah anak-anak jalanan yang sebenarnya tidak mendapatkan tempat apa-apa selain ruang kecil di sudut peradaban, bernama jalanan. Jelas mereka bukan dari kalangan sekolahan. Mereka terlantar dan berasal dari keluarga yang bermasalah. Mereka hidup di jalan. Menghidupkan budaya nongkrong dengan outfit berantakan. Nasib mereka berubah. Dunia digital menghubungkan mereka ke satu dunia yang diidam-idamkan banyak orang. Popular.

Melalui interview pembuat konten, tiba-tiba saja gaya unik mereka mendapatkan perhatian. Viral. Anak-anak jalanan ini berubah dari nothing ke something. Gaya mereka dan kehadiran mereka yang lugu berubah menjadi konten yang menarik.

Roy dkk menjadi perbincangan dan menarik berbagai kalangan. Naluri bisnis Baim Wong dan Paula muncul dengan ikut main di Citayam Fashion Week, bahkan konon akan mendaftarkannya ke lembaga hak cipta. Entah.

 Anak-anak jalanan ini tiba-tiba menjadi model jalanan.

Gelembung percakapan menghinggapi layer ponsel pengguna media, termasuk saya tentunya. Lalu muncullah sang Menteri, Sandiaga Uno. Dia dengan keyakinan tinggi menawarkan beasiswa kepada Roy. Sandiaga mewakili cara pandang kita, anak-anak sekolahan. Bagi Sandiaga Uno, Roy harus diselamatkan melalui sekolah. Masa depannya bisa lebih cerah kalau dia kembali bersekolah.

Drama berlanjut. Roy di luar dugaan menolak. Saya tidak mendengarkan alasannya secara khusus. Tetapi nalarnya mudah diduga. Roy tidak butuh sekolah, sejak lama. Apa yang dia dapatkan hari ini adalah buah dari ketidaksekolahannya. Mungkin saja Roy berfikir, lah andai gue kagak putus sekolah, gue nggak akan sampai level ini kali. Logika Roy ini tentu saja absurd bagi kita, tetapi berfungsi bagi dia.

Neil Postman pernah mematikan sekolah secara imajiner, tetapi Roy dan geng Citayamnya telah berhasil mematikan sekolah, secara nyata.  

Roy tidak butuh sekolah. Yang mereka butuhkan adalah viral!

Tantanganya adalah seberapa kuat mereka bertahan di tengah gelembung viral media digital yang pergerakannya sangat cepat dan fluid. Mari kita lihat!

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *