BLA MAKASSAR
Jl. AP PETTARANI NO 72A

Kasus Ade Armando dan Refleksi Keberagamaan Kita

Arif Gunawan Santoso

Perencana Muda pada Balai Litbang Agama Semarang

Menjelang berbuka, saya mendapatkan broadcast berita tentang pengeroyokan terhadap salah seorang aktivis yang juga dosen Universitas Indonesia,Ade Armando (AA). Karena sedang nyetir, saya hanya baca sekilas. inti dari berita yaitu “AA dihajar massa pendemo sampai muka babak-belur”. Seusai salat Tarawih, saya berkesempatan mencermati berita dan video yang sedang wara-wari di jagad media digital.

Sedih, prihatin dan ungkapan penyesalan menyelimuti benak saya ketika menyaksikan video penganiayaan itu. Sungguh di luar logika. Saya jadi bertanya, mengapa itu terjadi di bulan Ramadan yang penuh berkah. Bukankah ini bulan suci di mana setan dibelenggu? Bulan penuh berkah dan pahala? Bulan Ramadan ternyata belum mampu menyentuh relung kalbu seluruh umat, sehingga terdapat sebagian umat yang masih saja berperilaku biadab di luar nalar manusia.

Mengapa Penganiayaan ini Terjadi?

Muncul pertanyaan, apakah gerangan yang menyebabkan ada sebagian masyarakat melakukan tindakan penganiayaan itu. Jika melihat latar belakang beberapa tahun terakhir, maka sepak terjang AA penuh dengan kontroversi. Tak jarang pernyataan-pernyataan yang muncul darinya melukai perasaan dan hati sebagian masyarakat muslim di Indonesia.

Ambillah contoh bagaimana dia berstatemen tentang para santri yang masih kecil, hanya karena membawa bendera kalimat tauhid, dianggap sebagai calon teroris. Di kesempatan lain, dia juga mengejek sebagian kelompok masyarakat yang beroposisi kepada pemerintah, sebagai kaum yang bodoh dan ungkapan-ungkapan lain yang cukup menyakitkan.

Perasaan sebagian masyarakat semakin tersakiti ketika respon pemerintah dinilai tidak adil. Hanya karena AA merupakan pendukung setia, bahkan die hard-nya pemerintah, mendapatkan perlakuan istimewa. Laporan-laporan polisi yang dilakukan oleh masyarakat atas berbagai perilaku AA yang menyakitkan bahkan dinilai melanggar hukum, direspon dengan tidak semestinya. Kepolisian seolah mengabaikan proses hukum atasnya. Meskipun beredar kabar bahwa yang bersangkutan berstatus tersangka, namun tidak ada kemajuan dalam proses hukum atasnya.

Dua penilaian asumtif itu membangun sikap untrust dalam masyarakat. Pengeroyokan atas AA oleh sebagian massa pendemo, menjadi bukti nyata atas ketidakpercayaan itu. Akibatnya, sebagian masyarakat merasa puas dengan penganiayaan itu. Mereka merasa bahwa apa yang diterima AA adalah sebuah kewajaran dari atas perilakunya selama ini.

Kita Butuh Masyarakat Sehat.

Melihat apa yang terjadi, menunjukkan ada yang salah dalam diri masyarakat kita. Bulan Ramadan yang merupakan bulan utama, bulan suci bagi umat Islam, ternyata belum mampu meredam amarah sebagian masyarakat. Bahwa kegeraman dan kekecewaan sebagian masyarakat atas rasa ketidakadilan aparat maupun pemerintah memang nyata terjadi, namun tindakan main hakim sendiri bukanlah jalan keluar yang dapat dibenarkan. Baik dari sisi hukum positif maupun dari sisi hukum agama (dalam hal ini Islam).

Di dalam ajaran islam, berbagai tindakan kejahatan selalu diselesaikan melalui mekanisme peradilan yang adil. Menghadirkan para saksi dan bukti. Pada masa pemerintahan Islam di Madinah, Rasulullah, selain sebagai kepala negara, beliau juga berperan sebagai pemberi putusan atas segala sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat Madinah.

Dalam setiap putusan hukum yang diberikan, Rasulullah tidak pernah memutuskan tanpa menghadirkan bukti-bukti maupun saksi sebagai penguat atas apa yang sebenarnya terjadi. Tidak pernah sekalipun terjadi tindakan asal menghukum, tanpa proses peradilan. Kebiasaan itu diteruskan oleh para khalifah penerus beliau.

Dalam memutuskan perkara sebagaimana contoh yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya selalu diselesaikan dalam forum peradilan. Menghadirkan terdakwa, pelapor, saksi dan bukti. Melalui proses peradilan dengan mendengarkan keterangan dari berbagai pihak dan melihat berbagai bukti yang diajukan, baru diputus atas suatu perkara. Oleh karenanya, tindakan main hakim sendiri, yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berwenang memutuskan perkara, terlebih tidak dilakukan melalui proses peradilan yang adil, bukanlah tradisi Islam. Bahkan perilaku ini sangat dilarang dalam Islam karena berpotensi menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.

Dapat kita bayangkan, jika tindakan main hakim sendiri dibiarkan, hukum rimba yang berlaku, maka keadilan akan semakin jauh dari kenyataan. Yang kuat akan selalu menang, dan yang lemah akan selalu tertindas. Oleh karenanya, sangat tepat jika agama maupun hukum negara melarang perilaku seperti ini.

Apa yang terjadi, menjadi bukti nyata bahwa masyarakat kita sedang sakit, dan perlu segera disembuhkan. Oleh karenanya, di momen bulan Ramadan ini, sangat tepat kiranya bagi kita semua untuk berintrospeksi diri, merenung atas apa yang telah dan sedang dilakukan.

Dalam konteks individu, bulan Ramadan menjadi bulan yang tepat untuk introspeksi diri. Merenungi atas segala tindakan dan tingkah laku yang selama ini dilakukan. Kesalahan dan keburukan yang telah dilakukan, hendaknya disadari dan segera ditinggalkan. Momen bulan Ramadan juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Dengan pembentukan karakter individu yang beriman dan bertakwa, maka perilaku-perilaku buruk dan melanggar hukum, dapat dengan mudah dihindari.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, maka hendaknya setiap individu juga memahami bahwa hubungan baik antar manusia merupakan perintah negara sekaligus perintah agama. Kita diajarkan bagaimana untuk saling mengasihi, menghormati dan juga menghindarkan diri dari perselisihan antar manusia.

Oleh karenanya, hendaknya setiap kita dapat introspeksi, bahwa kita semua berpotensi sebagai pribadi perekat persaudaraan sesama manusia, juga di sisi lain bisa berpotensi sebagai pemecah belah persatuan. Sudah selayaknya kita menghindari sikap saling menghujat, merendahkan, menghina, maupun sikap-sikap buruk lainnya yang berpotensi memecah belah persatuan.

Jika terdapat perselisihan maupun perbedaan pendapat, maka diskusi yang elegan dapat menjadi media dalam menyelesiakan masalah. Bersepakat untuk tidak bersepakat dalam suatu perkara setelah melalui diskusi, adalah sikap yang paling mulia dibandingkan bertengkar atas ketidaksepakatan karena saling hina, hujat maupun saling menjelekkan karena adanya ketidaksepakatan.

Dalam konteks negara, maka para pengelola negara, khususnya pihak kepolisian dan penguasa, juga selayaknya melakukan introspeksi. Bisa jadi ketidakpercayaan masyarakat atas keadilan hukum di negeri ini memang sesuatu yang wajar karena memang pada fakta dan kenyataanya demikian. Jika begitu, maka sudah saatnya negara, dalam hal ini aparat penegak hukum beserta jajaranya, di bulan yang mulia ini mengakui dan memahami potensi kesalahan yang diperbuatnya sehingga menimbulkan ketidakadilan hukum di masyarakat. Tidak ada kata terlambat untuk selalu berbenah diri ke arah yang lebih baik.

Keadilan pemerintah, terkhusus para aparat penegak hukum merupakan kunci utama bagi terciptanya masyarakat yang harmonis. Adanya keadilan, dapat berdampak pada ketenangan dan kenyamanan bagi seluruh masyarakat. Semoga di momen Ramadan kali ini, dan kejadian penganiayaan kepada AA menjadi pelajaran berharga bagi kita. Sudah saatnya kita semua; individu, masyarakat, terlebih lagi negara, untuk berintrospeksi diri. Mengakui dan mengoreksi berbagai kesalahan dan kekurangan yang selama ini dilakukan, dan diakhiri dengan upaya optimal dan sungguh-sungguh untum memberbaiki kesalahan-kesalahan dengan menghadirkan perilaku yang baik dan benar ehingga keadilan benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas.

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *