Saprillah
Pisang ijo adalah penganan khas Sulawesi Selatan. Tidak ditemukan di wilayah lain. Resepnya sederhana dan populis. Siapapun pasti bisa membuatnya. Tidak perlu keahlian khusus. Asal mau pasti bisa. Modalnya pisang, tepung terigu, pewarna makanan berwarna hijau, air, santan kelapa, dan tentu saja sirup DHT plus susu kental manis.
Saya penikmat pisang ijo (dan penganan lain yang berbasis pisang), sejak kecil. Rasanya maknyus. Tentu saja, ada jutaan manusia di Sulawesi Selatan yang menyukai pisang ijo. Karenanya, pisang ijo tetap sustainable dari generasi ke generasi. Mengalami modifikasi di sana-sini, memang. Namun, penggemarnya selalu muncul dari masa ke masa. Singkatnya, pisang ijo adalah makanan legenda yang tak pernah lekang oleh zaman. Dia hadir dari sudut pemukiman yang kumuh hingga restaurant mewah di mal-mal.
Bulan ramadan adalah ruang di mana pisang ijo mendapatkan konteks yang lebih luas. Pisang ijo dijual secara masif dan lebih murah. Kantong kelas manapun bisa menjangkaunya. Jika di hari-hari biasa pisang ijo dijual secara “ekslusif”, maka di bulan puasa ini pisang ijo bisa ditemukan di mana saja. Para penjual dadakan muncul seperti jamur. Di satu lingkungan anda bisa menemukan puluhan pedagang dadakan yang menjajakan beraneka rupa makanan ringan dan pisang ijo selalu ada di sana. Boleh jadi, di kota Makassar ini ada ribuan titik penjual dadakan yang muncul dengan menu pisang ijo yang selalu ada.
Hadirnya penjual pisang ijo dadakan adalah penanda kultural dari masyarakat urban yang pragmatis. Para penjual dadakan ini memanfaatkan tingginya kebutuhan terhadap makanan dan rendahnya keinginan untuk membuat sendiri. Tentu saja berbeda dengan situasi di kampung.
Secara pribadi saya mengalami suasana ramadan yang berbeda meski dengan penganan yang sama. Ketika di kampung, saya tidak pernah melihat ibu-ibu kampung membeli makanan siap saji di bulan ramadan. Tidak berarti penjual pisang ijo tidak ada. Penjual pisang ijo, cendol dan lain-lain biasanya tutup di bulan ramadan. Mereka membuka dagangan di hari-hari biasa.
Membuat kuliner di bulan ramadan adalah ruang spiritual bagi para istri dan ibu di kampung. Ruang ini menjadi parade para ibu kampung untuk menyuguhkan keahlian terbaiknya dalam mengolah makanan. Baik untuk buka puasa, makan malam, atau makan sahur. Pisang ijo tentu saja wajib ada, meski tidak tiap hari. Ibu-ibu kampung sudah ngetem di dapur sejak pukul 15.00. Waktu tiga jam menjelang buka dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mengolah berbagai bahan makanan. Kuantitas makanan selalu melebihi kuota. Selalu saja, ada sisa pisang ijo yang bisa disantap sehabis tarawih. Setahuku, saya tidak pernah merasakan kekurangan stok pisang ijo. Singkatnya, ruang spiritual ini menjadi ruang kebudayaan untuk mempererat cinta dan kasih di dalam keluarga. Pisang ijo menjadi perekatnya.
Lalu bagaimana dengan masyarakat kota? Pendekatan masyarakat kota adalah efesiensi dan efektivitas. Membeli barang jadi yang pas dengan jumlah penghuni rumah adalah pendekatan utama. Ibu-ibu perkotaan tidak menjadikan arena dapur sebagai medan privat, tetapi publik. Di meja bisa saja tersedia makanan yang melimpah tetapi dia buatan banyak orang. Di meja makan keluarga saya, biasa tersedia donat, pisang ijo, jalang kote, dan panada. Makanan ini biasanya dibeli dari warung yang berbeda-beda.
Apakah pisang ijo hanya bernilai ekonomis saja? Tentu tidak. Pisang ijo tetaplah memiliki fungsi kultural yang baik. Saya memiliki tempat langganan membeli pisang ijo sejak 10 tahun terakhir. Jaraknya dari rumah relatif jauh. Tidak bisa dijangkau dengan jalan kaki dengan waktu cepat. Harus menggunakan kendaraan roda doa. Pisang ijo jualannya cocok di lidah saya. Rasanya lebih pas dibandingkan penjual lainnya.
Perjumpaan saya dengan dia adalah perjumpaan berbasis pisang ijo. Andai dia tidak menjual pisang ijo, mungkin saya dan keluarga tidak mengakrabinya. Dengan berbasis pisang ijo ini, keluarga saya menjadi dekat dan kenal baik dengan hampir semua keluarganya. Di hari-hari lain, saya tidak memiliki waktu berjumpa dengan ibu itu, tetapi di bulan ramadan saya pasti berjumpa dengannya dan merehabilitasi jejaring sosial melalui pisang ijo.
Pisang ijo adalah penanda kebudayaan dan sekaligus perekat jalinan sosial. Dengan membeli pisang ijo setiap hari, para penjual ini bisa mendapatkan pendapatan tambahan dan sekaligus merehabilitasi hubungan sosial yang mungkin tidak sempat terjalin di luar bulan ramadan.
Jadi, gelegar pisang ijo di bulan ramadan adalah gelegar kebudayaan berbasis agama. Inilah efek samping budaya yang muncul dari ibadah mahdhah. Nikmati ramadannya, nikmati pula pisang ijonya.