
Jika ingin melihat bagaimana mitos bekerja, maka lihatlah peristiwa Isra Mikraj. Eits, tunggu. Mitos bukan dalam pengertian dongeng tanpa realitas. Bukan pula sejenis cerita pengantar tidur. Isra Mikraj adalah jenis myth yang dikonstruksi oleh Barthes sebagai “kekuatan ideologis” melalui penceritaan. Peristiwa ini menguji banyak hal. Menggoda keimanan dan nalar sekaligus. Abu Bakr mendapatkan gelar “Asshiddique” adalah karena kepercayaan yang sangat tinggi kepada Nabi Muhammad. Dia termasuk yang paling awal meyakini kebenaran Islam dan paling pertama membenarkan peristiwa Isra Mikraj.
Myth mendapatkan tempat yang sangat penting dalam agama. Cerita Nabi Ibrahim terbakar api, Nabi Isa menyembuhkan orang sakit, dan Nabi Muhammad membelah bulan adalah bagian dari myth mengiringi pertumbuhan nalar dan sekaligus keyakinan beragama. Mengapa demikian?
Elemen manusia untuk mendekati agama ada dua; keyakinan dan rasionalitas. Fondasi agama adalah keyakinan tetapi tidak mengabaikan rasionalitas. Rasionalitas diakomodir sebagai bagian dari menguatkan keyakinan. Seluruh unsur ajaran agama tidak bisa melepaskan diri dari keyakinan dan rasionalitas. Seorang beragama yang mengukuhkan keyakinan dan mengabaikan rasionalitas akan jatuh pada lembah ekstrimisme dan ekslusivisme. Seorang beragama yang memosisikan rasionalitas sebagai pengendali akan terjatuh pada over-thinking. Ateisme, agnostisme, dan pembangkangan spiritual lahir dari cara pandang ini.
Myth adalah ruang dimana keyakinan dan rasionalitas bekerja secara bersamaan, dengan porsi yang saling melengkapi. Isra Miraj tidak mungkin didekati dengan rasionalitas penuh. Radar rasionalitas tidak sanggup menjangkaunya. Keyakinan harus mendukungnya. Keyakinan penuh tanpa menyertakan rasioanalitas tidak dapat digunakan begitu saja karena bisa jatuh pada fasisme beragama.
Saya sebagai umat Nabi Muhammad mempercayai peristiwa Isra Mikraj dengan pendekatan keyakinan dan rasionalitas. Tentu rasionalitas yang saya gunakan tidak sama yang digunakan oleh para sahabat. Saya menggunakan rasionalitas sejarah dan mata rantai pengetahuan. Jarak saya dengan peristiwa Isra Mikraj adalah 15 abad. Waktu yang sangat panjang. Saya mempercayai Isra Mikraj karena dituturkan dan dikulturkan. Kebenaran yang saya terima adalah kebenaran yang telah dikonstruksi oleh generasi sebelumnya. Dia telah menjadi doktrin keagamaan dan sekaligus kebudayaan. Karena itu, perhelatan Isra Mikraj adalah bagian dari merawat “mata rantai” pengetahuan publik Islam terhadap Isra Mikraj. Kebenaran korespondensial inilah yang menopang keyakinan tentang peristiwa Isra Mikraj.
Cukupkah itu? Tidak. Agama menyediakan tiga ruang rasionalitas untuk mendekati dirinya. Bayani, burhani, dan irfani. Bayani berbasis teks, burhani berbasis interpretasi, dan irfani berbasis “pergumulan intensif dengan ruang metafisika dan spiritual”. Nalar yang bisa digunakan untuk mendekati Isra Miraj adalah irfani. Nalar ini meletakkan spritualitas dan alam semesta yang tak terhingga sebagai basis ilmu pengetahuan. Semakin mendekati ruang irfani, peristiwa-peristiwa yang ajaib dan menakjubkan pun semakin terlihat rasional. Sebagai contoh, kita sering terperangah dan takjub melihat hasil karya seorang pesulap yang bekerja di luar nalar umum. Tak jarang, kita menuding para pesulap menggunakan tenaga mahluk gaib. Namun, setelah kita memahami cara kerjanya barulah kita sadari betapa rasionalnya sulap itu.
Isra Mikraj adalah peristiwa “masuk akal” bagi Nabi Muhammad (dan Jibril). Nabi Muhammad mengalami-nya. Berada dalam situasi faktual, bukan hayali. Ketidakpercayaan orang Quraish dapat dipatahkan dengan bukti empiris yang dilihat oleh Nabi Muhammad. Yang membuat para kafir Quraish ini tidak meyakini kebenaran ucapan Nabi Muhammad adalah karena ‘mental model’ sudah sangat kuat, bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pembual. Meski bukti empiris bisa ditampilkan, para penentang ini tetap tidak begerak dari mental model sebelumnya.
Di luar perdebatan tentang ‘kenyataan’, ada satu hal menarik dari peristiwa ini, yaitu model ibadah yang menjadi citra diri umat Islam, salat 5 waktu. Salat adalah oleh-oleh dari langit yang dijemput langsung oleh sang Nabi. Apa maknanya? Salat adalah simbol dari intimitas. Ciri intimitas adalah kemesraan, kebebasan, hasrat, dan gairah. Tidak mengherankan, apabila Nabi Muhammad dan para wali senang berlama-lama dalam salat (sendirian) karena bisa jadi mengingatkan peristiwa isra miraj. Kita para pengikutnya dianjurkan untuk masuk ke dalam arena spiritual yang maha dahsyat ini, dengan cara yang paling nyaman dan intim. Ayo